Game of Goats (Cinta Diri)
Maret lalu saya dan kolega menghadiri misa Kamis Putih di sebuah gereja. Tiba sedikit lebih awal, kami spontan bergegas menuju ke arah tiga baris bangku kosong paling depan yang ternyata adalah zona reservasi. Sempat pula menduduki kursi yang rupanya disediakan buat penyandang disabilitas sebelum akhirnya kami pindah ke balkon. Masih lumayan ketimbang mengikuti misa lewat layar tv di luar. Belakangan kami baru tahu ada seorang pengusaha kondang yang menempati zona reservasi tersebut.
Kudu datang setidaknya satu jam lebih awal lantaran ingin duduk di dalam gedung gereja pada misa-misa akbar memang bukanlah hal yang leluasa. Maka maklumlah bila timbul kebiasaan untuk mem-booking tempat duduk. Jika praktek demikian, khususnya yang tanpa batas waktu, lazimnya tidak diperkenankan karena dianggap tidak fair bagi sesama umat, bagaimana halnya dengan perlakuan terhadap VIP yang bukan penyandang disabilitas ataupun lansia di atas?
“Kagak bisa Bro!”, itulah kira-kira jawaban Yesus terhadap Yohanes dan Yakobus yang minta 'duduk di kanan dan kiri' takhta kemuliaan-Nya kelak. Asal tahu, dalam tradisi Gereja ada teori bahwa kedua murid ini adalah sepupu Yesus. Sebab ditenggarai Salome, ibu mereka, adalah saudari Bunda Maria. Saudara atau bukan, sesungguhnya mereka itu tidak mengenal baik Yesus bila berpikir bisa KKN dengan-Nya. Kalau saja masih terngiang dalam telinga mereka pernyataan Yesus yang kontroversial: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?”.
Sungkan untuk tidak mengistimewakan orang yang berjasa atau yang kita hormati adalah naluri sekaligus problem yang manusiawi. Yang tidak manusiawi adalah kalau kita tidak sungkan untuk (minta) diistimewakan kendatipun orang lainlah yang terpaksa harus menanggung ongkosnya. Yesus mengingatkan bahwa kalau kita ingin jadi besar, bersikaplah bagai seorang pelayan, dan kalau ingin jadi yang terkemuka, bersikaplah bagai seorang hamba. Sebab perihal mendapat tempat istimewa dalam Kerajaan-Nya sama sekali bukanlah faktor dari kekuasaan dan status sosial atau lantaran rajin ikut Ekaristi 'minum cawan Yesus' dan menerima meterai baptisan saja, melainkan karena rahmat cinta. Cinta yang berbuah dalam pelayanan dengan kerendahan hati dan semangat berkorban. Tempat itu “akan diberikan ... bagi siapa itu telah disediakan”, demikian Yesus menegaskan bahwa Ia pun tak berhak untuk menentukan. Niscaya Yesus tidak berbasa-basi. Sebab sekalipun Allah memiliki hak prerogatif atas segalanya, bukan berarti Ia bisa sembarang memberi yang kita inginkan. Sama halnya Ia tak bisa memaksa kita untuk menerima yang kita tak inginkan dari-Nya.
Apabila Yesus datang ke dunia untuk melayani dalam rupa seorang hamba yang turut merasakan kelemahan kita, apa yang membuat kita, karya ciptaan-Nya, berpikir bahwa kita didatangkan untuk sebaliknya? Cinta diri yang tak terbatas telah membuat kita buta, tidak sanggup menemukan Allah pada wajah sesama. Maka tak heran tatkala menghampiri takhta kasih karunia dalam kemuliaan-Nya kelak, sampai titik penghabisan pun niscaya kita masih enggan berubah. Apa boleh dikata. Namanya kambing ya tetap kambing saja.
Comments
Post a Comment