Melihat Wajah Yesus
Seorang pengusaha muda Muslim, sebut saja Untung namanya, punya sebuah pengalaman langka. Berkat bantuan seorang kenalan di Italia, ia memperoleh undangan misa bersama Bapak Suci di Vatikan. Alih-alih menghadiri misa yang dibatalkan, Bapak Suci malah mengundangnya beraudiensi. Untung pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Saat audiensi, ia bahkan nekad memeluk Bapak Suci, mengabaikan protokol sebatas bersalaman sambil membungkuk dan cium tangan saja. “Kapan lagi?”, ungkapnya.
Bisa beraudiensi dengan figur kondang tentunya mendatangkan kepuasan tersendiri. Bacaan Injil hari ini menceritakan bagaimana orang-orang Yunani juga ingin bertemu dengan satu figur fenomenal pada masa itu, Yesus. Kiranya mereka tertarik dengan agama Yahudi dan telah banyak mendengar tentang Yesus dan karya-Nya. Mereka mendatangi Filipus karena ditenggarai ia bisa berbahasa dan mengenal budaya Yunani mengingat asalnya dari Betsaida di Galilea. Terkesan ragu meladeni, barangkali teringat akan larangan Yesus untuk tidak menyebarkan dulu Injil di kalangan bukan Yahudi, Filipus berkonsultasi terlebih dulu dengan Andreas sebelum mereka berdua menyampaikannya kepada-Nya. Tapi bukannya menanggapi, Yesus malah memberitakan bahwa Ia bakal mati.
Kalau dipikir, bukankah kita yang hidup di zaman now ini terbilang sangat beruntung. Sebab lewat Ekaristi, kita telah dianugerahi dengan privilege untuk berjumpa langsung dengan Yesus. Tak perlu undangan atau izin dari siapapun. Dan best of all, Yesus selalu welcome kepada yang datang. Ada yang bilang dalam hal ini orang Katolik sudah dicuci otaknya, bahwa transubstansiasi adalah imajinasi yang mengada-ada. Kalau Yesus betul hadir, Ekaristi semestinya lebih heboh, lebih kudus, daripada yang selama ini. Umat seyogyanya tersungkur di hadapan-Nya, bukan ngobrol apalagi main hp. Well, tapi masih ada yang keliru dalam argumen tersebut. Pertama, ketidakmampuan indera fana manusia untuk mendeteksi sesuatu dalam dimensi ruang dan waktu bukanlah bukti bahwa yang ada itu tiada. Yang adikodrati itu mengatasi yang kodrati. Kedua, ketidakmampuan untuk menyatakan hormat kita dengan pantas tidak mengurangi nilai intrinsik dari sesuatu yang ingin kita hormati. Keagungan sang Ilahi tidak ditentukan oleh hakekat si insani. Kalau begitu, mengapa Yesus tidak menampakan diri secara kasatmata saja agar semua keraguan terhapuskan? Andaikan saja demikian, akankah perjumpaan tersebut membuat kita lebih percaya dan lebih baik? Lagipula jangan lupa, manusia diciptakan untuk melayani Tuhan (ayat 26), bukan sebaliknya.
Apabila kita sungguh mengamini bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristiani, maka perjumpaan dengan Yesus seyogyanya bukanlah sekedar sebuah tujuan, melainkan juga awal dari sebuah proses perjalanan: pertobatan. Menyadari dengan penuh kerendahanhati bahwa kita memang berdosa. Dengan tekun dan gentar rela menempuh sebuah proses reversal yang selama ini kita anggap sebagai hukuman-Nya. Tak usah menunda-nunda lagi. Sebab keliru besar jika berpikir bahwa waktu akan menyembuhkan yang satu ini. Prosesnya akan menyakitkan, bak kematian itu sendiri. Dan kita ditanggung bakal jatuh bangun. Kalau saja ada alternatif yang lebih mudah. Untuk ini, kita perlu meneladani Yesus yang tak cengeng (ayat 27). Memaklumi bahwa pertobatan dan keselamatan itu tidak bisa hanya diupayakan oleh ataupun bergantung pada sesuatu yang di luar kita, melainkan dimulai dari dalam diri kita sendiri. Menyadari bahwa sekalipun iman bukan perbuatan yang menyelamatkan dan keselamatan adalah sepenuhnya rahmat, ada bagian yang tetap mesti kita kerjakan. Semoga lewat pertobatan, perjumpaan dengan Yesus dalam Ekaristi akan menghantar kita untuk mampu menemukan-Nya pula dalam wajah sesama. Selamat menjalankan masa tobat.
"We're the judge and the jury
The hangman, the convict
It's too late for fury
Our indictment was handpicked
So step up to the gallows
And accept your sentence
For being so shallow
You must pay your penance
And oh we had so much time
How could we commit the worst crime?"
Comments
Post a Comment