Easier Said Than Done
Rabu, 9 Februari 2011, dini hari saya menelpon seorang teman bernama Emwe dari luar negeri. Setelah bertahun-tahun jinak, panic attack saya, yang mulai kambuh sejak malam hari Minggu sebelumnya, sedang mencapai puncak-puncaknya pada saat itu. Sambil paralel berkomunikasi lewat skype video dengan istri yang sedang berada di Jakarta, saya berkeluh kesah dengan Emwe tentang apa yang sedang saya rasakan: ketakutan dan rasa khawatir yang mendalam. Saya merasa sungguh ironis. Di satu sisi, bisa menulis renungan mewartakan Kabar Gembira kepada sesama, di sisi lain ternyata kesulitan untuk memberikan pencerahan pada diri sendiri sewaktu rasa takut hebat menguasai. Bahkan saya sempat berteori, jangan-jangan apa yang saya alami adalah ulah Iblis, apalagi mengingat pagi hari Minggu, 6 Februari, saya mendapat kabar bahwa Bapak Uskup terkesan dengan renungan yang saya tulis untuk hari itu. Dan justru pada malam hari itu pulalah ‘penyakit’ lama tersebut kambuh. Saya berpikir, barangkali lebi