Easier Said Than Done
Rabu, 9 Februari 2011, dini hari saya menelpon seorang teman bernama Emwe dari luar negeri. Setelah bertahun-tahun jinak, panic attack saya, yang mulai kambuh sejak malam hari Minggu sebelumnya, sedang mencapai puncak-puncaknya pada saat itu. Sambil paralel berkomunikasi lewat skype video dengan istri yang sedang berada di Jakarta, saya berkeluh kesah dengan Emwe tentang apa yang sedang saya rasakan: ketakutan dan rasa khawatir yang mendalam.
Saya merasa sungguh ironis. Di satu sisi, bisa menulis renungan mewartakan Kabar Gembira kepada sesama, di sisi lain ternyata kesulitan untuk memberikan pencerahan pada diri sendiri sewaktu rasa takut hebat menguasai. Bahkan saya sempat berteori, jangan-jangan apa yang saya alami adalah ulah Iblis, apalagi mengingat pagi hari Minggu, 6 Februari, saya mendapat kabar bahwa Bapak Uskup terkesan dengan renungan yang saya tulis untuk hari itu. Dan justru pada malam hari itu pulalah ‘penyakit’ lama tersebut kambuh. Saya berpikir, barangkali lebih baik saya berhenti menulis renungan kalau hanya membuat Iblis semakin hebat menyerang dan menimbulkan penderitaaan secara psikologis maupun spiritual. Tapi pikir-pikir, bisa saja saya yang terlalu geer, padahal ini barangkali cuma konsekuensi fisiologis akibat stress yang dialami, tidak ada bedanya dengan misalnya seorang pastor yang saleh mengalami sakit perut karena mengkonsumsi makanan basi. Artinya, apa yang saya alami tidak ada kaitannya dengan dimensi spiritual sama sekali. Nah lho, saya malah justru lebih khawatir lagi. Saya membayangkan orang yang percaya dan setia dengan Yesus pun ada kalanya tidak luput dari penderitaan dan kesakitan hebat sebelum akhirnya mati.
Setelah berkomunikasi, kalau tidak salah sampai lewat jam 3 pagi, atas usulan Emwe, saya pun memesan secara on-line tiket pesawat agar istri bisa datang siang hari itu juga untuk menemani saya. Beberapa saat kemudian, kantuk mulai menyerang. Saya yang memang sudah sangat capai dari sejak semula akhirnya tertidur sekitar jam 5 pagi, sambil diawasi oleh istri yang setia dari layar skype.
Jika anda mengharapkan renungan yang ok, maaf, mungkin anda harus kecewa sekali ini. Saya cuma mau share satu ide yang tiba-tiba muncul saat saya, istri dan anak sedang misa Minggu, 20 Februari. Bahwa seburuk apapun yang kita alami, Tuhan tetaplah setia. Semakin hebat penderitaan kita, justru semakin dekat penyertaan-Nya dan semakin dalam penghiburan-Nya. Dan akan halnya tema Injil hari ini yang kebetulan adalah “Jangan Khawatir”. Meniru ucapan Yesus tersebut memang easier said than done. Dengan kekuatan manusiawi, ada batasnya di mana kita bisa merasa aman dari rasa khawatir. Dan ketika batas tersebut terlampaui, maka seperti halnya dalam hal mengampuni, ingatlah, hanya kekuatan rahmat Tuhan lah yang akan memampukan kita.
Saya merasa sungguh ironis. Di satu sisi, bisa menulis renungan mewartakan Kabar Gembira kepada sesama, di sisi lain ternyata kesulitan untuk memberikan pencerahan pada diri sendiri sewaktu rasa takut hebat menguasai. Bahkan saya sempat berteori, jangan-jangan apa yang saya alami adalah ulah Iblis, apalagi mengingat pagi hari Minggu, 6 Februari, saya mendapat kabar bahwa Bapak Uskup terkesan dengan renungan yang saya tulis untuk hari itu. Dan justru pada malam hari itu pulalah ‘penyakit’ lama tersebut kambuh. Saya berpikir, barangkali lebih baik saya berhenti menulis renungan kalau hanya membuat Iblis semakin hebat menyerang dan menimbulkan penderitaaan secara psikologis maupun spiritual. Tapi pikir-pikir, bisa saja saya yang terlalu geer, padahal ini barangkali cuma konsekuensi fisiologis akibat stress yang dialami, tidak ada bedanya dengan misalnya seorang pastor yang saleh mengalami sakit perut karena mengkonsumsi makanan basi. Artinya, apa yang saya alami tidak ada kaitannya dengan dimensi spiritual sama sekali. Nah lho, saya malah justru lebih khawatir lagi. Saya membayangkan orang yang percaya dan setia dengan Yesus pun ada kalanya tidak luput dari penderitaan dan kesakitan hebat sebelum akhirnya mati.
Setelah berkomunikasi, kalau tidak salah sampai lewat jam 3 pagi, atas usulan Emwe, saya pun memesan secara on-line tiket pesawat agar istri bisa datang siang hari itu juga untuk menemani saya. Beberapa saat kemudian, kantuk mulai menyerang. Saya yang memang sudah sangat capai dari sejak semula akhirnya tertidur sekitar jam 5 pagi, sambil diawasi oleh istri yang setia dari layar skype.
Jika anda mengharapkan renungan yang ok, maaf, mungkin anda harus kecewa sekali ini. Saya cuma mau share satu ide yang tiba-tiba muncul saat saya, istri dan anak sedang misa Minggu, 20 Februari. Bahwa seburuk apapun yang kita alami, Tuhan tetaplah setia. Semakin hebat penderitaan kita, justru semakin dekat penyertaan-Nya dan semakin dalam penghiburan-Nya. Dan akan halnya tema Injil hari ini yang kebetulan adalah “Jangan Khawatir”. Meniru ucapan Yesus tersebut memang easier said than done. Dengan kekuatan manusiawi, ada batasnya di mana kita bisa merasa aman dari rasa khawatir. Dan ketika batas tersebut terlampaui, maka seperti halnya dalam hal mengampuni, ingatlah, hanya kekuatan rahmat Tuhan lah yang akan memampukan kita.
Comments
Post a Comment