Apa Namamu?
Menjelang kelahiran putra atau putrinya, setiap orangtua mesti berhadapan dengan sebuah pertanyaan: apa nama yang paling cocok diberikan kepada calon bayi mereka? Nama yang dipilih bisa jadi adalah karakter yang diidolakan oleh sang orangtua atau pula sebutan yang diharapkan bakal mendatangkan kebaikan bagi sang bayi di masa depan. Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, nama Kevin maupun Keanu pada satu masa pernah sangat populer di kalangan orangtua berkat film yang dibintangi oleh aktor-aktor bernama depan tersebut. Sementara saking nge-fans terhadap sebuah grup musik, saya sendiri pernah berpikir untuk memakai nama keluarga dari para anggotanya sebagai nama tengah untuk anak-anak saya. Menariknya, urusan nama ternyata bukan domain dari yang kodrati saja. Tuhan sendiri pun punya: YHWH. Dan begitu hakikinya hakekat dari sebuah nama itu, Gereja telah merangkumkannya sebagai berikut: “Allah memanggil tiap orang dengan namanya. Nama tiap orang itu kudus. Nama itu serupa ikon pribadi. Sebagai tanda martabat orang yang memakainya, nama harus dihargai.” (Katekismus #2158). Nama dengan demikian adalah sesuatu yang sangat personal. Ia memberikan sebuah identitas yang unik bagi penyandangnya.
Di lain pihak, ternyata nama juga bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Ada sebuah pengalaman menggelikan sewaktu saya masih duduk di bangku SMA dengan teman sekelas bernama Korban. Sekali peristiwa, kelas sedemikian gaduhnya. Pak Guru yang baru tiba, karena jengkel, meminta masing-masing murid untuk menulis dalam secarik kertas nama oknum yang menggaduh. Ketika satu persatu dibacakan, muncullah nama Karbon. Pak Guru kontan naik pitam dengan plesetan tersebut. Alhasil kami sekelas pun mendapatkan hukuman. Dalam lingkungan sosial tertentu, nama-nama yang tergolong agak ‘eksotik’ seperti teman sekelas tersebut apa lacur memang rentan dijadikan bahan olokan. Kita mungkin pernah dengar pula istilah ‘keberatan nama’. Ada kebiasaan di antara orang Tionghoa, setidaknya di masa lampau, untuk mengubah nama anaknya yang sering sakit-sakitan. ‘Chiong’ katanya. Dan bagi yang namanya kebetulan terdengar seperti berasal dari sekitar Timur Tengah, jangan kaget seandainya dipersulit pihak imigrasi ketika memasuki negara-negara tertentu.
Di lain pihak, ternyata nama juga bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Ada sebuah pengalaman menggelikan sewaktu saya masih duduk di bangku SMA dengan teman sekelas bernama Korban. Sekali peristiwa, kelas sedemikian gaduhnya. Pak Guru yang baru tiba, karena jengkel, meminta masing-masing murid untuk menulis dalam secarik kertas nama oknum yang menggaduh. Ketika satu persatu dibacakan, muncullah nama Karbon. Pak Guru kontan naik pitam dengan plesetan tersebut. Alhasil kami sekelas pun mendapatkan hukuman. Dalam lingkungan sosial tertentu, nama-nama yang tergolong agak ‘eksotik’ seperti teman sekelas tersebut apa lacur memang rentan dijadikan bahan olokan. Kita mungkin pernah dengar pula istilah ‘keberatan nama’. Ada kebiasaan di antara orang Tionghoa, setidaknya di masa lampau, untuk mengubah nama anaknya yang sering sakit-sakitan. ‘Chiong’ katanya. Dan bagi yang namanya kebetulan terdengar seperti berasal dari sekitar Timur Tengah, jangan kaget seandainya dipersulit pihak imigrasi ketika memasuki negara-negara tertentu.
Selain nama, identitas seseorang itu lazim dikaitkan pula dengan kebangsaannya, atau, yang lebih sensitif lagi, dengan iman atau kepercayaan yang dianutnya. Untuk yang terakhir ini, kita yang mengklaim mengikuti way of life Kristus, tentunya bangga dengan sebutan Kristen (saya pribadi lebih suka memperkenalkan diri dengan sebutan Katolik). Bagaimana tidak? Kristen adalah kelompok yang terbesar di dunia. Diperkirakan sekitar sepertiga populasi dunia saat ini adalah Kristen dan 50% di antaranya adalah Katolik Roma. Dan paling utama lagi, istilah Kristen sendiri, menurut seorang teolog Protestan, mengandung makna ‘segala yang mulia, baik, dan serupa dengan Kristus’. Tapi menyandang nama Kristen rupanya mau tidak mau juga menghadapkan kita kepada berbagai ketidaknyamanan. Ini bukanlah soal persekusi yang ada kalanya dialami orang Kristen di tempat mana mereka merupakan kaum minoritas. Kita masih bicara dalam tataran kehidupan pada umumnya saja. Seorang sahabat baru-baru ini berguyon bahwa sejak ia menerima hosti, ia menjadi lebih takut kepada sang istri. Apa yang ingin dikatakannya niscaya bahwa sejak menjadi seorang Katolik, ia cenderung meninggalkan kebiasaan-kebiasaan (negatif) lama-nya, entah karena keterpaksaan ataukah karena kerelaan. Yang jelas, menanggalkan cara hidup yang lama, khususnya yang sudah menjadi comfort zone, memang bukanlah sesuatu yang nyaman. Bukan dalam artian kehidupan di masa lalu itu lebih nyaman daripada sekarang, tetapi proses transformasi yang berlangsung terus menerus itulah yang menimbulkan rasa tak nyaman, tepatnya penderitaan, tersebut. Mati terhadap cara hidup yang lama itu boleh dikatakan laksana sebuah kematian itu sendiri.
Aspek fundamental lain yang melekat dengan karakter seorang Kristen sejati adalah mengampuni. Paus Fransiskus dalam sebuah kesempatan doa Angelus menyatakan bahwa pengampunan adalah kesukacitaan bagi Tuhan. Tapi kita semua niscaya mengakui betapa sulitnya sebetulnya mengampuni itu, terlebih lagi terhadap orang yang telah mengakibatkan sesuatu berharga milik kita menjadi rusak atau sirna. Tidak usah jauh-jauh, dalam kehidupan keluarga, di mana pertengkaran ada kalanya terjadi antara pasangan hidup, saat sedang dikuasai amarah, kita bisa merasakan betapa sulitnya untuk membalik keadaan pada momen saat itu. Bagi saya pribadi, kadang kala seperti mau mati rasanya, mati terhadap karakter yang berkuasa pada saat itu.
Sebagai seorang Kristen, kita tentunya dituntut untuk patuh terhadap dogma dan aturan-aturan Gereja yang diimani sebagai wakil dari Kristus di dunia ini, agar pada gilirannya Gereja bisa menuntun kita pula untuk menampilkan wajah Kristus yang sejati kepada dunia. Bukan sebaliknya, menjadi batu sandungan. Menyandang identitas Kristen juga menuntut kita untuk terus melakukan transformasi hidup, mengambil bagian dalam Kristus dan menjadi serupa dengan-Nya. Pokoknya mau mengikuti Kristus itu berarti kita mesti siap untuk sangkal diri dan pikul salib. Boleh jadi kita karena itu mungkin berpikir, apakah tidak ada cara lain yang lebih mudah, yang tidak terlalu membebani, untuk menjadi seorang Kristen? Sayangnya tidak. Pemikiran yang demikian tak lain adalah refleksi dari mentalitas pekerja paling awal yang digambarkan oleh Yesus dalam perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur, seakan-akan jika bisa berkarya lebih singkat dan dengan beban pekerjaan yang lebih ringan itu pasti lebih baik adanya. Sebab urusan keselamatan itu bukanlah fungsi dari perhitungan untung-rugi. Lagipula, siapa yang bilang kita boleh berdiam di kebun anggur jika sedang menganggur dan pada gilirannya pasti akan dipekerjakan? Dan seandainya tidak, siapa pula yang bisa menjamin bahwa di luar kebun anggur milik Empunya yang sah tersebut masih ada kebun lain yang menghasilkan buah yang baik dan berlimpah?
Tidak terasa umat Regina Caeli, memasuki usianya pada tahun ke-[12] ini, untuk kesekian kalinya merayakan kembali pesta nama pelindung Bunda Maria Ratu Surgawi. Mari jadikan pula momentum perayaan ini lebih dari sekedar sebuah pesta ceremony-as-usual setiap tahun saja. Pakailah kesempatan ini untuk coba merenungkan arti dari sebuah nama, khususnya identitas kita sebagai pengikut Kristus. Sebab menjadi Kristen bukanlah sekedar packaging atau labelling saja, tapi bagaimana kita bisa senantiasa menghadirkan wajah, sukacita dan kasih Kristus - Sang Nama di atas segala nama - kepada sesama. Dengan demikian nama Tuhan, sesuai doa yang telah diajarkan oleh Kristus, bisa sungguh-sungguh pula dimuliakan. Selamat berkarya dan melayani.
"When you're a born a lover
You're born to suffer
Like all soul sisters
And soul brothers"
Comments
Post a Comment