Asuransi
Lekat dengan krisis yang nyaris menimbulkan bencana pada sistem keuangan dunia pada tahun 2008 adalah nama AIG, sang raksasa asuransi. Terbuai oleh premi yang menguntungkan, AIG memberikan perlindungan asuransi yang berlebihan terhadap hutang-hutang derivatif beresiko tinggi (CDO) yang diterbitkan secara jor-joran oleh lembaga-lenbaga keuangan dunia dengan mengandalkan arus kas dari pembayaran pokok dan bunga KPR kelas rendah (subprime). Ketika bubble pasar perumahan Amerika meletus, efek domino kontan terjadi. Debitur KPR wanprestasi, penerbit CDO cidera janji. Dan AIG yang harus membayar kewajiban asuransi yang jauh melebihi likuiditasnya akhirnya di bail-out oleh pemerintah federal Amerika. Ketidakjujuran kapitalisme telah berlaku di sini. Para oknum pelaku di institusi keuangan yang tak bertanggungjawab menikmati fee, komisi dan bonus yang berlimpah, sedangkan para pembayar pajak yang harus menanggung ongkosnya.
Asuransi. Itulah juga yang dilakukan oleh si bendahara tidak jujur dalam kisah Injil hari ini. Dengan memberikan pengampunan terhadap orang-orang yang berhutang kepada tuannya, si bendahara pada dasarnya telah menerapkan lindung nilai (hedging) buat dirinya sendiri. Ia dipuji cerdik karena telah menciptakan sebuah potensi manfaat tanpa mengeluarkan biaya pribadi. Hutang yang dikurangi, alias harta tuannya, lah yang menjadi premi. Dengan harapan apabila ia dipecat nanti, para debitur yang telah diuntungkan oleh perbuatannya akan memberikan imbalan atau membalas budi.
Sama halnya dengan si bendahara, manusia mana yang tidak ingin punya jaminan hidup tenang dan aman? Persepsi umum yang berlaku adalah semakin banyak harta seseorang, niscaya semakin nyaman dan tenteram pula hidupnya. Sebab bagi kita harta adalah sebuah perlindungan. Dan lebih jauh lagi, agar harta yang memberikan rasa aman tersebut juga terlindungi, kita lapisi pula dengan asuransi. Dengan perlindungan ganda, genaplah manajemen resiko kita. Apanya yang salah? Well, banyak harta dan punya asuransi itu tentu sah-sah saja. Hanya saja Santo Agustinus mengingatkan bahwa yang salah adalah ketika kita menganggap harta duniawi tersebut sebagai harta yang sesungguhnya. Sebab dikatakan bahwa hanya orang yang tidak jujurlah yang menyebutnya sebagai harta. Adapun harta sejati yang seyogyanya kita berlomba kumpulkan itu hakekatnya berbeda sama sekali. Untuk ini, Santo menunjuk kepada Ayub sebagai contoh teladan. Bagaimana Ayub tetap memuliakan Allah di tengah ketiadaapa-apaan dari dirinya.
“Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.” Bukankah pernyataan Yesus yang ambigu ini pada dasarnya juga tentang sebuah asuransi? Bukankah Dia sendiri jugalah yang telah meng-underwrite buat kita polis asuransi keselamatan nan ultra-bonafide dengan jaminan tubuh-Nya yang digadaikan di atas kayu salib? Adakah premi yang layak yang mampu kita bayarkan untuk ini, selain hanya cukup dengan percaya dan hidup dalam kasih? Tentang Mamon, mau tunduk atau mau menjadi majikannya sebetulnya hanyalah soal niat dan pilihan kita. Dalam hal ini, kita patut salut terhadap bangsa Amerika. In God We Trust, itulah deklarasi yang mereka meteraikan di atas sang Mamon. Setidaknya mereka sudah mencoba dengan sebuah peringatan untuk selalu lebih mawas diri.
(Arghh! Dasar Mamon. Sekarang ia mau menjelma menjadi digital money.)
(Arghh! Dasar Mamon. Sekarang ia mau menjelma menjadi digital money.)
Comments
Post a Comment