Anugerah, Iman dan Perbuatan



"Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih." Jika dibaca dengan seksama, terkesan ada yang bertolak belakang dalam struktur kalimat sebab-akibat dari pernyataan Yesus ini. Di satu sisi kita menangkap Yesus menyatakan perbuatan kasih (sebab) mendatangkan pengampunan (akibat), tetapi di sisi lain, pengampunanlah (sebab) yang menghasilkan perbuatan kasih (akibat). Para ahli alkitab berpendapat bahwa kerancuan ini hanya soal semantik dalam bahasa Yunani, apalagi Yesus telah memberikan perumpamaan tentang dua orang yang berhutang sebelumnya. Maka dalam beberapa terjemahan, termasuk New American Bible (Katolik), frasa "sebab ia …" pun telah direvisi menjadi "oleh sebab itu ia …".

Seperti pewartaan oleh Santo Paulus kepada umat di Galatia dalam bacaan hari ini, kita mestinya juga sudah memaklumi bahwa pengampunan dan keselamatan itu adalah anugerah Allah semata. Namun sadar atau tidak, kehidupan rohani kita, termasuk hubungan pribadi kita dengan Allah, dalam prakteknya juga tidak bebas dari pola pikir imbalan (reward) dan hukuman (punishment). Keselamatan, fisik maupun spiritual, dipandang sebagai faktor dari perbuatan baik. Semakin banyak berbuat baik, semakin besar kesempatan untuk selamat. Keselamatan pun diukur dengan perhitungan ekonomi. Maka laiknya pekerja yang paling awal di kebun anggur, kita kontan protes tatkala pekerja lain dengan waktu kerja yang lebih singkat mendapatkan imbalan yang sama besarnya. Atau seperti si Sulung dalam kisah anak yang hilang, protes karena si Bungsu yang kembali malah dihadiahi dengan sebuah pesta. Mengapa harus capek-capek berbuat kasih dan hidup taat jika keselamatan bisa diraih dengan cara yang lebih mudah dan enak? Dan lebih parah lagi, seperti yang pernah dikatakan oleh pastor Joseph A. Ratzinger jauh sebelum ia menjabat Paus dulu, kita seakan baru puas jika keselamatan pribadi kita itu berarti ketidakselamatan bagi orang lain.

Iman yang menyelamatkan, bukan perbuatan. Itulah keyakinan kita. Iman yang berpijak pada kebenaran bahwa Allah adalah kasih. Dan kasih-Nya begitu agung sehingga Ia rela turun tahta menjelma menjadi manusia, menderita dan mati di atas kayu salib yang hina demi mengampuni dan menebus pelanggaran kita, sebagai silih atas hukuman kematian kekal yang seyogyanya kita terima. Bisa percaya itu sendiri saja adalah anugerah Allah. Tapi tentunya kita tidak cukup berhenti sampai di sini. Iman mesti dipelihara, bertumbuh, dan menjadi nyata. Maka jika iman tidak berbuah dalam perbuatan kasih, ia niscaya adalah semu. Sebab seperti yang dikatakan oleh Santo Yakobus, iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati. Dan bukankah Yesus sendiri juga bersabda bahwa pohon itu dikenal dari buahnya? Iman yang sejati oleh karenanya pasti akan menuntun kita untuk berbuat, seperti sabda Yesus (Mat 25:31-46), segala sesuatu yang baik bagi salah seorang dari saudara kita yang paling hina. Sebab dengan demikian kita telah melakukan bagi-Nya pula yang lebih dulu mengasihi kita. Maka teruslah berbuat baik. Bukan karena itu bakal menguntungkan kita, tetapi karena kita sudah diuntungkan terlebih dulu. Urusan selamat atau tidak, percayakan saja kepada Bapa kita yang maha pengampun dan penyayang.

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Keping Denarius

Aman Dalam Tangan-Nya