Hidup Berbuah Dalam Kepenuhan
Penggemar sutradara Steven Spielberg atau aktor Tom Hanks tentu tahu dengan film Saving Private Ryan. Film drama Perang Dunia ke-2 yang berlatar belakang pendaratan pasukan sekutu di Eropa pada Hari-H ini mengisahkan perjuangan sekelompok pasukan rangers Amerika yang, selepas penyerbuan di Omaha Beach, ditugaskan untuk mencari dan menyelamatkan seorang prajurit paratrooper bernama James Ryan. Alasan misi lantaran karena ketiga saudara James telah gugur sulit untuk diterima oleh ke-8 anggota pasukan, terlebih bagi sang pemimpin, Kapten John Miller, yang peduli dengan keselamatan anak buahnya. Mempertaruhkan nyawa 8 demi 1 orang adalah irasional baginya. Taat terhadap perintah atasan, ia tetap mengemban tugasnya dengan penuh dedikasi. Harapannya sederhana, agar ia bisa segera berjumpa lagi dengan sang istri tercinta. Paska serangkaian konflik, mereka akhirnya menemukan James di sebuah kota kecil di mana ia bersama segelintir rekannya sedang mengamankan sebuah jembatan yang tersisa di kota itu. Tergerak hatinya oleh semangat James dan kawan-kawan, sang Kapten pun memilih untuk tinggal memimpin pasukan yang seadanya hanya untuk kelak berhadapan dengan sebuah kekuatan besar pasukan lapis baja SS Jerman. Dalam adegan final pertempuran, dengan sisa napas terakhir akibat luka fatal yang dideritanya, Kapten Miller membisikkan kata: “Earn this!” ke telinga James, yang kira-kira berarti “Hiduplah sepadan dengan pengorbanan kami!”, sebelum ia menundukkan kepala untuk selamanya.
Kapten Miller dan kawan-kawan telah menyelesaikan tugas mereka, yaitu agar prajurit James Ryan bisa pulang dengan selamat. Untuk itu mereka telah membayar dengan sangat mahal, dengan nyawa sebagian besar dari mereka sendiri. Mereka mati supaya James bisa hidup. Bukan karena ada sesuatu yang layak dari hidup James, melainkan sebuah misi belas kasih semata. Bukankah itulah juga yang telah diperbuat oleh Yesus untuk kita? Kisah sengsara dan kematian Yesus di atas kayu salib yang kita peringati berulang-ulang setiap tahun, sama halnya dengan kisah Kapten John Miller, bukanlah tentang heroisme. Dari penalaran manusia, itu malah lebih merupakan sebuah kebodohan yang tidak masuk akal. Adakah yang masuk akal bila seorang Bapa merelakan anak-Nya untuk mati demi menebus kesalahan orang lain? Atau ibarat seorang Hakim Agung yang setelah menjatuhkan hukuman mati, turun dari kursi tahta, melepas jubah kebesaran-Nya dan mengenakannya kepada sang terpidana, menukarkan diri-Nya sebagai silih, mati untuknya?
Kisah sengsara Yesus jangan sampai hanya menjadi sebuah ritual-as-usual saja. Kita mesti bisa menjadikannya sungguh bermakna dengan hidup kita, tanpa mengeyampingkan bahwa semuanya pada akhirnya hanyalah rahmat, bukan perbuatan, yang melayakkan kita dalam hal keselamatan. Hiduplah berbuah dalam kepenuhan yang dikehendaki oleh Yesus bagi kita, sehingga seperti epilog yang diucapkan oleh James Ryan tua, setiap saat kita memandang ke salib Kristus, semoga kita pun sanggup berkata: “Everyday I think about what you did to me that day on the Cross; I've tried to live my life the best that I could. I hope that that was enough. I hope, that at least in your eyes, I earned what you have done for me.”
Comments
Post a Comment