Adakah Roh Allah Padaku?
Dalam sebuah jamuan siang, seorang pedagang sempat menyinggung tentang salah satu rekan kongsinya dan seorang karyawannya sendiri. Intinya ia heran mereka bisa aktif melayani, bahkan menjadi pentolan, di institusi agama masing-masing sementara etika bisnis ataupun perilaku mereka itu ia nilai masih kontradiktif. "Kalau mesti begitu (baik) dulu, kapan bisa mulai melayani?", demikian reaksi seorang karyawannya yang Katolik. Sementara karyawan yang lain, juga seorang Katolik, menambahkan: "Boss, ada adagium Gereja itu bukan museum bagi orang suci tapi rumah sakit buat orang berdosa." Obrolan pun stop di situ saja.
Masing-masing orang tentu punya motif yang unik dalam pelayanan religiusnya. Ada yang murni demi kasih dan kemuliaan Tuhan, ada yang ingin mendapatkan ketenangan jiwa, ada pula yang demi keuntungan pribadi. Demikian pula ada berbagai teologi dan gaya pelayanan. Dari yang berbasis kaul kemiskinan dan kesederhanaan sampai dengan yang berbasis kejayaan materi. Creflo Dollar, salah satu televangelist di Amerika yang menggunakan jet pribadi dalam mewarta, belakangan ini mendorong jemaatnya untuk mendanai pembelian Gulfstream G650 baru seharga USD65 juta. Ini argumennya: "Itu (pesawat) yang terbaik dan memcerminkan tingkatan yang bermutu dengan mana organisasi kami memilih untuk beroperasi". Wow!
Sesuai Injil hari ini, tolok ukur pelayanan pewartaan kabar gembira yang sejati niscaya bersandar pada sebuah pertanyaan diri: 'Adakah Roh Allah padaku?'. Percuma saja jago berbahasa roh, pandai berkhotbah, klotokan isi kitab suci, bahkan mampu membuat mukjizat sekalipun, jika bohirnya ujung-ujungnya tak lain adalah 'Roh-Ani' atau 'Roh-Anu' juga. Selamat melayani.
Comments
Post a Comment