Bunda
Memasuki bulan ke-7, dokter menyimpulkan dari hasil USG bahwa bakal anak pertama kami adalah laki-laki dan kondisinya normal. Puji Tuhan! Namun kira-kira 2 minggu pra-natal, tahu-tahu sang dokter berbalik menyatakan bahwa kami akan mendapatkan seorang putri. Kami pun kontan shocked. Bukan karena kami bias perihal gender, tetapi seakan satu pribadi yang selama ini kami rindukan mendadak tiada. Setelah berjuang melewati masa penantian, tepat hari ini 19 tahun yang lalu, akhirnya kami dianugerahi dengan seorang bayi yang sehat. Nicholas namanya.
Perikop Injil hari ini kebetulan menyangkut tentang dua wanita kerabat yang sama-sama sedang mengandung. Keduanya dipilih oleh Allah dan dijanjikan, lewat malaikat Gabriel, akan melahirkan putra dengan pribadi yang hebat. Proses mereka mengandung itu sendiri adalah sebuah kemustahilan. Maria mengandung oleh Roh Kudus sedangkan Elisabet, sepupunya, mengandung dalam kondisi mandul dan tua (88 tahun menurut sebuah sumber non-alkitabiah). Nah, tahu dari mana bahwa malaikat tidak mungkin keliru? Sesama manusia boleh saling tidak percaya. Tetapi terhadap Allah?
Maria dalam hal ini menjadi figur teladan bagi orang beriman. Meski semula seakan ia terkesan ragu (ay. 34), reaksinya saat itu bukanlah akibat ketidakpercayaan, melainkan refleksi dari sebuah kesahajaan saja. Ini tentunya dua hal yang sangat berbeda. Sebab tidak percaya kepada Allah itu sama halnya dengan menolak, bahkan menghina, hakekat-Nya. Dan ini dengan sendirinya mendatangkan hukuman. Bukan karena Allah itu tukang hukum, tetapi bahwa memilih berada di luar-Nya itu sama dengan memilih tinggal dalam kuasa kegelapan dengan segala konsekuensinya. Zakharia, suami Elisabet, seorang imam yang hidupnya saleh pun mengalaminya. Ia sempat menjadi bisu karena tidak percaya.
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.", rasanya adalah sebuah pernyataan iman tertinggi yang bisa diberikan oleh seorang manusia. Tetapi Maria tidak berhenti pada sebuah retorika belaka. Ia dengan tekun dan setia menjalaninya. Selepas perjumpaannya dengan malaikat Gabriel, ia ‘langsung’ naik ke pegunungan, ke kota tempat Elisabet tinggal. Jaraknya lebih dari 100km. Siapa yang mau repot-repot menempuh resiko perjalanan jauh buat menjenguk kerabat yang mengandung kalau itu bukan atas dasar sebuah tindakan kasih? Dan seperti lazimnya dalam kunjungan kekerabatan, Maria juga membawa oleh-oleh. Namun bukan sembarang oleh-oleh, melainkan dirinya sendiri. Sebab lewat dialah rahmat ilahi bisa sampai kepada Elisabet dan janin dalam kandungannya. Mendengar salam darinya, seketika itu ibu dan sang bakal anak dipenuhi oleh Roh Kudus. Gereja Katolik merayakan peristiwa sukacita ini sebagai sebuah misteri.
Masih ada kisah kasih lainnya, tertulis ataupun lisan, tentang sosok seorang Maria. Tapi cukuplah yang sudah ada untuk bisa membuat kita berbahagia memanggilnya ‘Bunda’.
“Magnificent, Magnificent, I was born, I was born to be with you in this space and time. I was born, I was born to sing for you. I didn’t have a choice but to lift you up and sing whatever song you wanted me to. I give you back my voice from the womb my first cry, it was a joyful noise … Only love, only love can leave such a mark, but only love, only love can heal such a scar.”
Comments
Post a Comment