Melihat Karena Percaya
Manusia pada umumnya tidak suka pada gelap, terlebih saat sedang sendirian. Berada dalam kegelapan membuat orang merasa tak berdaya karena ketidaktahuan atau tepatnya karena khawatir akan hal-hal buruk yang bisa menimpa atau mengagetkan dirinya. Jika gelap sesaat saja bisa menggelisahkan, bayangkan apa yang dirasakan orang yang semula dapat melihat tetapi kemudian menjadi buta.
Buta dan miskin, itulah gambaran populer tentang Bartimeus. Sejumlah terjemahan kitab suci menyiratkan bahwa Bartimeus bukan buta sejak lahir (lih. a.l.: NJB ay. 51 & 52). Dengan kata lain, Bartimeus niscaya pernah menikmati indahnya penglihatan. Entah bagaimana ia menjadi buta atau sejak kapan ia menjadi miskin. Yang pasti Bartimeus pernah sangat menderita. Tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengemis di pinggir jalan dan tak punya apa-apa kecuali barangkali cuma sehelai jubah saja. Sebelum akhirnya ia disembuhkan oleh dan kemudian mengikuti Yesus.
Buta adalah sebuah kondisi tanpa persepsi cahaya. Bukankah demikian juga halnya hakekat manusia berdosa? Dosa membuat manusia tidak lagi mengenali kehadiran cahaya kasih Allah dalam hidupnya. Allah sudah tersembunyi baginya. Atau lebih tepatnya, ia bersembunyi dari Allah. Kehilangan cahaya kasih Allah membuat manusia yang semula diciptakan sebagai insan ilahi akhirnya hanya bisa mengandalkan naluri kedagingannya saja. Ia tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan buruk. Tidak tahu lagi apa dasar dan tujuan hidupnya. Walau mungkin kaya secara materi, seorang pendosa itu bangkrut secara spiritual. Tiada apa-apa lagi yang ia bisa megahkan dari dirinya. Sebab ia telah kehilangan satu-satunya harta sejati, yaitu rahmat dan kebersamaan dengan Allah. Lebih jauh lagi, ia juga telah kehilangan status keanakan yang istimewa, terusir ke tepi jalan, tak tahu lagi ke arah mana mesti melangkah untuk kembali ke kediaman semula.
Kalau demikian, masih adakah harapan untuk pulih? Jika yang kita maksudkan melulu adalah soal jasmani, maka jangan heran apabila kita tetap buta. Seeing is not believing. Tapi jika bicara tentang pemulihan yang sejati, kita niscaya sudah tahu jawabannya. Believing is seeing. Maka paslah seruan: "Kuatkanlah hatimu." (ay. 49). Teguhkanlah iman. Sebab ini memang bukan kemustahilan. Bahwa begitu besarnya rahmat kasih Allah sehingga Ia mau menjelma menjadi manusia, lewat wujud Sang Putra, turun ke padang gurun dunia untuk mencari dan menyelamatkan kita. Maka yang pertama mesti kita lakukan adalah segera keluar dari lubang persembunyian, zona kenyamanan, kerumunan penghalang, atau apapun yang mengungkung kita untuk menyapa Dia. Dengan kerendahan hati mau menyesali dan mengakui segala kekeliruan yang telah kita perbuat untuk mendapatkan pengampunan dari-Nya. Tanggalkan ‘jubah’ kepemilikan apapun yang membebani. Lepaskan segala kelekatan yang menjadi perangkap rohani. Dan mintalah segala sesuatu itu demi kemuliaan-Nya yang lebih besar bukan untuk menyenangkan diri. Biarkan rencana-Nya yang mengatasi rencana kita. Maka niscaya barulah kita bisa berjalan bersama-Nya, menapaki lika-liku dan suka-duka kehidupan yang penuh rahmat menuju kediaman asal kita, Yerusalem abadi.
"It's the long way down to the birth of the blues
I haven't very far to fall since they were born
And came to haunt this singing fool since day one
There's so many ways to sing the blues
I'm not afraid, I'm not afraid, not afraid
I'm not afraid, I'm not afraid to let them break me"
Comments
Post a Comment