Mau Ikut Yesus
Petrus mestilah sangat gundah. Bagaimana tidak. Berhasil mengenali identitas sejati Yesus hingga diberi otoritas untuk memimpin tentunya membuat ia semakin percaya diri. Tapi tahu-tahu Yesus bicara tentang penderitaan, kematian, dan kebangkitan yang tak mereka pahami. Semua jadi bingung dan gelisah. Petrus pun spontan memprotes. Alhasil, kecaman dari Yesus lah yang ia tuai sebagai balasannya: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-ku …”
Insiden ini mengingatkan pada pengalaman Yesus selepas berpuasa 40 hari di padang gurun di awal karya publik-Nya. Injil mencatat bahwa sesudah gagal menggoda Yesus, Iblis mundur dan ‘menunggu waktu yang baik’ (Luk 4:13) untuk kembali. Dengan segala cara dan tipu muslihat, Iblis terus mencari jalan untuk melencengkan karya mesianik Yesus. Dari sebuah karya yang berlandaskan pada penyangkalan diri dan ketaatan mutlak kepada Allah menjadi tak lebih dari sebuah petualangan politis yang mengakar pada cinta diri dan melekat pada kekuatan duniawi. Maka maklumlah jika Yesus sangat marah pada (sikap) Petrus. Sebab bagi Allah niscaya tak ada yang abu-abu. Segala sesuatu yang di luar domain dan rencana-Nya pada hakekatnya ada di bawah kekuasaan Iblis. Dan inilah rencana Allah, bahwa sang Putra harus menderita dan mati demi menebus dunia. Sebab dengan kematian, kebangkitan pun menjadi mungkin.
Kematian dan kebangkitan Yesus oleh karenanya merupakan inti dari Kabar Gembira yang penuh pengharapan. Walau sulit diterima, pesan yang terkandung di dalamnya cukup sederhana. Bahwa untuk memperoleh hidup kekal yang bebas dari duka dan penderitaan, kita mesti menderita dan mati terlebih dulu. Mulai dari mati dari kebiasaan dan karakter lama kita yang mengikat (kita tahu betapa menderitanya untuk melepaskan hal-hal ini, bahkan adakalanya laksana kematian itu sendiri) sampai mati secara fisik. Sebab “jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yoh 12:24). Tentu saja tak berarti kita mau cari mati ataupun permisif terhadap bunuh diri. Tapi sebaliknya, mati-matian ingin menghilangkan penderitaan dalam hidup inipun adalah upaya yang sia-sia saja. Sama halnya dengan mematikan kehidupan itu sendiri dengan segala hal yang baik dan indah di dalamnya. “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” Singkat kata, ikut Yesus itu bukan untuk cari aman dan enak saja. Hidup ataupun mati mesti sama suksesnya. Dan sangkal diri, pikul salib adalah jalan-Nya. Maukah kita?
“... kematian bukanlah akhir ataupun kontradiksi dari kehidupan. Keduanya diubahkan menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang hidup dengan menakjubkan dalam rencana Allah. Tapi kunci dari semuanya itu adalah kerelaan untuk berserah diri.”
(Bernard Tickerhoof: The Paradox)
Comments
Post a Comment