Penderitaan
Bicara soal sengsara atau penderitaan, kita mungkin acap bertanya: Jika Tuhan itu maha baik, mengapa Ia membiarkan atau mengizinkan penderitaan ada di dunia ini? Penderitaan bisa menyesah hebat siapapun yang mengalaminya, baik atau jahat, tua atau muda, kaya atau miskin, religius atau atheis. Tak ada yang luput, Tuhan sekalipun. Suatu kenyataan yang jelas tak menyenangkan. Kutipan Yesus "karena karya Allah harus dinyatakan di dalam dia" menawarkan sebuah perspektif, namun bagaimanapun tetaplah tak mudah untuk sepenuhnya memahami misteri ini. Apalagi bagi yang sedang mengalami.
Penderitaan jelas bukanlah bagian dari tujuan penciptaan Tuhan. Ia menciptakan segala sesuatu baik adanya. Khusus kepada manusia yang Ia ciptakan menurut gambar dan rupa-Nya sendiri, Ia ingin berbagi kasih, ingin manusia turut menikmati pengalaman kasih-Nya yang sempurna. Maka Ia pun menganugerahkan kehendak bebas. Sebab mengasihi haruslah menjadi sebuah pilihan. Apalah artinya cinta apabila dilakukan secara terpaksa. Namun setiap pilihan itu pada hakekatnya mengandung resiko. Dan dalam hal ini, manusia telah mengabaikan Tuhan sebagai sentral dari eksistensinya. Kesetiaan kasih berubah menjadi kesombongan dan cinta diri. Hukum roh yang ilahi tak lagi berkuasa atas species ini, tergantikan oleh hukum dunia yang kodrati. Manusia sendirilah yang membuat dosa dan penderitaan menjadi nyata.
Rupanya bagi Tuhan, sukacita dan keindahan hubungan kasih itu melebihi segala-galanya, sebesar apapun resikonya. Sebab toh Ia sendiri jugalah yang bakal membayar ongkosnya. Kita boleh saja bilang: adakah yang sulit buat Tuhan? Tetapi bagi-Nya, tak ada yang boleh setengah-setengah. Maka pengorbanan-Nya mestilah setimpal dengan kedahsyatan dan kengerian yang timbul akibat dari penolakan dan ketidaksetiaan ciptaan-Nya. Dan untuk ini Ia, lewat wujud Sang Putra, mesti menurunkan derajat-Nya, dari Tuan menjadi hamba, Hakim menjadi terpidana, menjadi sama lemahnya seperti manusia. Penderitaan-Nya harus habis-habisan: fisik, psikis, dan spiritual. Ia mesti mengosongkan diri-Nya secara total, kehilangan segalanya, termasuk diri-Nya sendiri. Taat sampai mati. Pengorbanan tertinggi, teragung yang, kalau boleh berspekulasi, bahkan Ia sendiri pun tak sanggup mengulangi.
Sekarang bagaimana dengan kita? Penderitaan pada hakekatnya memang bukanlah hal yang baik, maka wajar saja jika kita menghindarinya. Tapi akan ada saatnya cawan yang dihidangkan mau tak mau mesti kita teguk juga. Jika sudah tak terelakkan lagi, mengapa tidak menyambutnya saja? Ketimbang terus menjadi kontradiksi yang mengganjal kehidupan, mengapa tidak menghadapinya sebagai sebuah kesempatan untuk menemukan realita baru. Sebuah paradoks. Meneladani kesetiaan Yesus, mau bekerjasama dengan rahmat Tuhan lewat penyerahan diri total, percaya sepenuhnya. Biarkan Tuhan memakai penderitaan kita bagi rancangan-Nya yang damai sejahtera. Konon, jika kita masuk dalam kemuliaan-Nya kelak, saat kita memandang balik kisah kehidupan kita, penderitaan yang terberat sekalipun terasa begitu indah dan membahagiakan.
"Strangelove
Will you give it to me?
Will you take the pain
I will give to you?
Again again
And will you return it?"
Comments
Post a Comment