Raja Sengsara
Luk 23:35-43; Kol 1:12-20
Ini adalah kisah seorang Raja. Lahir dari seorang Ibu yang tak banyak bicara, istri dari seorang tukang kayu bersahaja. Kemanapun Ia pergi selalu membawa mukjizat penyembuhan dan kelegaan bagi yang bermasalah. Populer dan dielu-elukan oleh banyak orang tapi dimusuhi oleh elit penguasa dan agama. Bukan rahasia lagi kelompok ini bernafsu untuk menyingkirkan-Nya. Ironisnya, massa yang selama ini niscaya telah menikmati berkat dan keuntungan dari-Nya pun terhasut dan berbalik arah. Tidaklah sulit untuk memahami motif sang penguasa, tentara, dan para elit agama. Tapi tentang mereka ini yang dulu turut mendaulat-Nya menjadi Raja?
Jika ada satu kata, maka mestilah itu "kecewa". Sebab kekecewaan bisa menjadi pahit hati. Pahit hati menjadi benci. Dan dari benci akhirnya ingin menghabisi. Raja? Raja apaan yang tak berdaya ketika dimahkotai duri dan dianiaya? Sementara bala tentara-Nya sendiri tak kunjung tiba. Bukankah ini skandal terbesar sepanjang sejarah? Anggaplah saja Ia memang Raja sebatang kara. Tapi tak bisakah Ia lakukan sesuatu lagi yang luar biasa? "Jika engkau adalah Anak Allah ...". Godaan si Pencoba di awal karya kiranya mesti terulang di bagian akhir cerita. Meski bisa jadi ejekan dan olokan di mulut pun sebetulnya adalah refleksi secercah kegalauan di hati para penghujat dan penyiksa. Jika engkau adalah Raja .... Jika engkau adalah Mesias, tunjukkanlah mukjizat terhebat-Mu. Terakhir kali ini saja. Maka mungkin kami masih bisa percaya.
Di tengah godaan hebat untuk berubah arah, termasuk oleh hujatan penjahat yang tergantung di salib sebelah-Nya, bisa saja Ia luruh lantah. Bayangkan! Bahkan yang sudah mau mati saja masih berani menantang-Nya. Tapi toh mereka akan tetap kecewa. Sebab buat apa Ia membuktikan mampu menyelamatkan diri-Nya jika itu berarti Ia tak mampu menyelamatkan mereka. Misi mesti terpenuhi tak peduli harga. Lagipula, kalau bukan Dia, siapa lagi yang sanggup untuk membayar seluruh ongkosnya? Rancangan agung yang sudah dipersiapkan dari sejak semula tak boleh sia-sia. Semua mesti mengambil perannya masing-masing sekecil apapun jua. Tak terkecuali 'penjahat' yang satunya. "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja." Ucapannya bak setetes asa di tengah lautan sengsara. Seakan ia adalah instrumen dari Bapa untuk mendekati, mengingatkan, dan sekaligus menguatkan-Nya, bahwa ternyata masih ada yang tetap percaya. Alangkah leganya jika cukup satu yang benar saja untuk meluputkan semua dari nasib Sodom dan Gomora.
Ini adalah kisah seorang Raja. Lahir dari seorang Ibu yang tak banyak bicara, istri dari seorang tukang kayu bersahaja. Kemanapun Ia pergi selalu membawa mukjizat penyembuhan dan kelegaan bagi yang bermasalah. Populer dan dielu-elukan oleh banyak orang tapi dimusuhi oleh elit penguasa dan agama. Bukan rahasia lagi kelompok ini bernafsu untuk menyingkirkan-Nya. Ironisnya, massa yang selama ini niscaya telah menikmati berkat dan keuntungan dari-Nya pun terhasut dan berbalik arah. Tidaklah sulit untuk memahami motif sang penguasa, tentara, dan para elit agama. Tapi tentang mereka ini yang dulu turut mendaulat-Nya menjadi Raja?
Jika ada satu kata, maka mestilah itu "kecewa". Sebab kekecewaan bisa menjadi pahit hati. Pahit hati menjadi benci. Dan dari benci akhirnya ingin menghabisi. Raja? Raja apaan yang tak berdaya ketika dimahkotai duri dan dianiaya? Sementara bala tentara-Nya sendiri tak kunjung tiba. Bukankah ini skandal terbesar sepanjang sejarah? Anggaplah saja Ia memang Raja sebatang kara. Tapi tak bisakah Ia lakukan sesuatu lagi yang luar biasa? "Jika engkau adalah Anak Allah ...". Godaan si Pencoba di awal karya kiranya mesti terulang di bagian akhir cerita. Meski bisa jadi ejekan dan olokan di mulut pun sebetulnya adalah refleksi secercah kegalauan di hati para penghujat dan penyiksa. Jika engkau adalah Raja .... Jika engkau adalah Mesias, tunjukkanlah mukjizat terhebat-Mu. Terakhir kali ini saja. Maka mungkin kami masih bisa percaya.
Di tengah godaan hebat untuk berubah arah, termasuk oleh hujatan penjahat yang tergantung di salib sebelah-Nya, bisa saja Ia luruh lantah. Bayangkan! Bahkan yang sudah mau mati saja masih berani menantang-Nya. Tapi toh mereka akan tetap kecewa. Sebab buat apa Ia membuktikan mampu menyelamatkan diri-Nya jika itu berarti Ia tak mampu menyelamatkan mereka. Misi mesti terpenuhi tak peduli harga. Lagipula, kalau bukan Dia, siapa lagi yang sanggup untuk membayar seluruh ongkosnya? Rancangan agung yang sudah dipersiapkan dari sejak semula tak boleh sia-sia. Semua mesti mengambil perannya masing-masing sekecil apapun jua. Tak terkecuali 'penjahat' yang satunya. "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja." Ucapannya bak setetes asa di tengah lautan sengsara. Seakan ia adalah instrumen dari Bapa untuk mendekati, mengingatkan, dan sekaligus menguatkan-Nya, bahwa ternyata masih ada yang tetap percaya. Alangkah leganya jika cukup satu yang benar saja untuk meluputkan semua dari nasib Sodom dan Gomora.
"dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga ..."
(Kol 1:20)
Comments
Post a Comment