Berani Untuk Bangkit
Luk 20:27-38; 2 Mak 7:1-2, 9-14
Di penghujung sebuah sarapan pagi, sehari setelah meninggalnya istri pamanku pada awal Oktober lalu akibat sakit kanker yang lama menyiksa, anak bungsuku yang belum genap berumur 12 tahun yang kebetulan hadir di saat detik-detik terakhir hidup sang Cimpo-nya itu tiba-tiba bertanya: “Dad, orang yang menjelang ajalnya itu sebetulnya masih ingin tetap hidup sekalipun dalam kesakitan ataukah ingin ke surga?”. Pertanyaan ini serta merta menjadi sebuah refleksi pribadi. Sudah siapkah aku sendiri jika masaku telah tiba?
Rasanya hampir semua kita takut mati. Tapi yang berani dan siap mati pun niscaya tak sedikit. Seperti halnya dengan Ibu dan ke-7 putranya yang dikisahkan dalam kitab 2 Makabe hari ini. Ketujuh saudara, karena menolak untuk melanggar hukum tradisi agama Yahudi, disiksa dan dibunuh satu persatu secara biadab di depan mata sang ibu. Mengapa mereka bisa sedemikian heroik menghadapi kematian yang begitu sadis dan mengerikan? Kitab suci menyatakan bahwa mereka percaya akan kebangkitan dan hidup abadi. Iman yang niscaya berakar dalam penyerahan diri yang penuh kepada Allah. Dan justru inilah problem kita. Kita sesungguhnya lebih mempercayai dunia. Apa yang bisa dirasakan lewat indera lah yang kita anggap realita dan terutama. Tak heran jika kita sangat mengagungkan tubuh jasmani walau ia fana hakekatnya. Tak rela untuk melepaskannya.
Dalam hal keselamatan, kita itu tak ubahnya seperti anak kecil yang lebih puas dengan makanan cepat saji daripada cita rasa gastronomis sebuah fine-dining. Selera kita memang murahan. Cukup dengan uang, seks dan kekuasaan. Sedemikian ketagihannya hingga menumpulkan daya apresiasi kita terhadap prospek kebangkitan, pada janji Allah akan hidup kekal dalam sukacita yang sempurna. Celakanya, jangan-jangan saat penghakiman terakhir nanti pun kita lebih memilih rombongan kambing sekalipun berhak atas status domba. Bak sang anak hilang yang tak betah tinggal di rumah bapaknya, hanya saja kali ini ratap dan kertak gigi yang tak berkesudahanlah yang bakal didapatkannya.
Marilah karenanya kita bersama-sama terus berjuang sambil berdoa, agar karena rahmat, Allah berkenan membantu kita membuka dan mentransformasikan hati kita untuk bisa sungguh-sungguh percaya, menjadikan kita berani untuk menghampiri takhta kasih karunia-Nya. Hanya dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, setiap jengkal dari hakekat kita, maka kita baru akan bisa mendapatkan jati diri kita yang sesungguhnya. Mati untuk-Nya, hidup sejatilah upah kita. Untuk ini, kita mesti berani punya idealisme besar. Semoga kan tiba saatnya, ketika kita pun sanggup berkata: "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan."
Di penghujung sebuah sarapan pagi, sehari setelah meninggalnya istri pamanku pada awal Oktober lalu akibat sakit kanker yang lama menyiksa, anak bungsuku yang belum genap berumur 12 tahun yang kebetulan hadir di saat detik-detik terakhir hidup sang Cimpo-nya itu tiba-tiba bertanya: “Dad, orang yang menjelang ajalnya itu sebetulnya masih ingin tetap hidup sekalipun dalam kesakitan ataukah ingin ke surga?”. Pertanyaan ini serta merta menjadi sebuah refleksi pribadi. Sudah siapkah aku sendiri jika masaku telah tiba?
Rasanya hampir semua kita takut mati. Tapi yang berani dan siap mati pun niscaya tak sedikit. Seperti halnya dengan Ibu dan ke-7 putranya yang dikisahkan dalam kitab 2 Makabe hari ini. Ketujuh saudara, karena menolak untuk melanggar hukum tradisi agama Yahudi, disiksa dan dibunuh satu persatu secara biadab di depan mata sang ibu. Mengapa mereka bisa sedemikian heroik menghadapi kematian yang begitu sadis dan mengerikan? Kitab suci menyatakan bahwa mereka percaya akan kebangkitan dan hidup abadi. Iman yang niscaya berakar dalam penyerahan diri yang penuh kepada Allah. Dan justru inilah problem kita. Kita sesungguhnya lebih mempercayai dunia. Apa yang bisa dirasakan lewat indera lah yang kita anggap realita dan terutama. Tak heran jika kita sangat mengagungkan tubuh jasmani walau ia fana hakekatnya. Tak rela untuk melepaskannya.
Dalam hal keselamatan, kita itu tak ubahnya seperti anak kecil yang lebih puas dengan makanan cepat saji daripada cita rasa gastronomis sebuah fine-dining. Selera kita memang murahan. Cukup dengan uang, seks dan kekuasaan. Sedemikian ketagihannya hingga menumpulkan daya apresiasi kita terhadap prospek kebangkitan, pada janji Allah akan hidup kekal dalam sukacita yang sempurna. Celakanya, jangan-jangan saat penghakiman terakhir nanti pun kita lebih memilih rombongan kambing sekalipun berhak atas status domba. Bak sang anak hilang yang tak betah tinggal di rumah bapaknya, hanya saja kali ini ratap dan kertak gigi yang tak berkesudahanlah yang bakal didapatkannya.
Marilah karenanya kita bersama-sama terus berjuang sambil berdoa, agar karena rahmat, Allah berkenan membantu kita membuka dan mentransformasikan hati kita untuk bisa sungguh-sungguh percaya, menjadikan kita berani untuk menghampiri takhta kasih karunia-Nya. Hanya dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, setiap jengkal dari hakekat kita, maka kita baru akan bisa mendapatkan jati diri kita yang sesungguhnya. Mati untuk-Nya, hidup sejatilah upah kita. Untuk ini, kita mesti berani punya idealisme besar. Semoga kan tiba saatnya, ketika kita pun sanggup berkata: "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan."
"No need to run and hide
It's a wonderful, wonderful life
No need to hide and cry,
It's a wonderful, wonderful life"
Comments
Post a Comment