Roh Yang Menghidupkan
Yoh 14:15-16; 23b-26
Kita tentunya sudah tak asing lagi dengan doktrin sentral dari iman kristiani kita: Tritunggal. Bahwa Allah itu terdiri dari tiga pribadi: Bapa, Putera, dan Roh Kudus yang sama hakekatnya, sama kedudukannya, dan sama kuasanya. Bahwa kendati masing-masing adalah Allah, tak berarti ada tiga Allah melainkan tetap Allah yang esa.
Kita mungkin juga sudah memaklumi bahwa sebagai sumber dari segala misteri iman -karena menyangkut diri Allah sendiri- Tritunggal bukanlah misteri yang untuk dipecahkan tetapi untuk diimani, meski dalam prakteknya kita tak bisa memungkiri bahwa tetap ada semacam 'kebingungan' dalam membedakan ke-3 Pribadi. Maka jangan heran bila sebagian dari kita lebih sering mencari dan mengasosiasikan Allah sebagai Bapa ataupun Putera saja. Meminjam analogi ruang yang dipakai oleh C.S. Lewis (Mere Christianity), memang agaknya cenderung lebih mudah bagi kita membayangkan Bapa sebagai raja yang bijaksana yang ada 'di luar sana' sedang mendengarkan kita berdoa di hadapan-Nya, atau Putera sebagai pemuda bersahaja berwajah mulia yang ada 'di sebelah' mendampingi kita berdoa kepada Bapa-Nya, daripada Roh Kudus yang relatif jauh lebih abstrak, sekalipun Ia pernah hadir dalam rupa seekor burung merpati ataupun angin dan lidah-lidah api seperti yang para murid alami saat perayaan Pentakosta. Inilah paradoksnya, Roh Kudus ternyata lebih sulit untuk dikenali, barangkali justru karena Ia bekerja 'dari dalam' diri kita sendiri.
Injil hari ini menyatakan bahwa jika kita mengasihi Tuhan Yesus kita akan menerima Roh Kudus. Mungkin kita tak begitu acuh tentang hal ini. Tapi bagaimana kita bisa tidak merindukan-Nya? Sebab bukankah Ia adalah Kasih yang berasal dari simpul cinta yang kekal dan tak terbatas antara Bapa dan Putra sendiri. Ia hadir sebagai rahmat yang bekerja dan menguduskan jiwa kita lewat karunia-karunia dan buah-buah-Nya. Memampukan kita melakukan apa yang tak mampu kita lakukan dengan kekuatan sendiri. Ia adalah air kehidupan yang mengairi kebun jiwa kita yang kering, napas kehidupan yang Allah hembuskan pada seonggok debu tanah. Tanpa-Nya kita tak bedanya dengan orang mati ketimbang menjadi anggota dari Tubuh Kristus yang sudah bangkit. Gereja pun niscaya tak akan bertahan sampai hari ini.
Maka pikir-pikir, sebetulnya sungguh beruntunglah kita umat Katolik yang telah diwarisi dengan tradisi doa yang selalu dimulai dan diakhiri dengan tanda salib. Sebab asal dilakukan dan diucapkan dengan khidmat, bukan sebagai sebuah formalitas atau sekedar kebiasaan saja, ia dengan sendirinya telah menjadi sebuah pernyataan iman Tritunggal yang utuh. Tanda bahwa setidaknya masih ada tempat bagi Roh Kudus di dalam hati kita ini.
Kita tentunya sudah tak asing lagi dengan doktrin sentral dari iman kristiani kita: Tritunggal. Bahwa Allah itu terdiri dari tiga pribadi: Bapa, Putera, dan Roh Kudus yang sama hakekatnya, sama kedudukannya, dan sama kuasanya. Bahwa kendati masing-masing adalah Allah, tak berarti ada tiga Allah melainkan tetap Allah yang esa.
Kita mungkin juga sudah memaklumi bahwa sebagai sumber dari segala misteri iman -karena menyangkut diri Allah sendiri- Tritunggal bukanlah misteri yang untuk dipecahkan tetapi untuk diimani, meski dalam prakteknya kita tak bisa memungkiri bahwa tetap ada semacam 'kebingungan' dalam membedakan ke-3 Pribadi. Maka jangan heran bila sebagian dari kita lebih sering mencari dan mengasosiasikan Allah sebagai Bapa ataupun Putera saja. Meminjam analogi ruang yang dipakai oleh C.S. Lewis (Mere Christianity), memang agaknya cenderung lebih mudah bagi kita membayangkan Bapa sebagai raja yang bijaksana yang ada 'di luar sana' sedang mendengarkan kita berdoa di hadapan-Nya, atau Putera sebagai pemuda bersahaja berwajah mulia yang ada 'di sebelah' mendampingi kita berdoa kepada Bapa-Nya, daripada Roh Kudus yang relatif jauh lebih abstrak, sekalipun Ia pernah hadir dalam rupa seekor burung merpati ataupun angin dan lidah-lidah api seperti yang para murid alami saat perayaan Pentakosta. Inilah paradoksnya, Roh Kudus ternyata lebih sulit untuk dikenali, barangkali justru karena Ia bekerja 'dari dalam' diri kita sendiri.
Injil hari ini menyatakan bahwa jika kita mengasihi Tuhan Yesus kita akan menerima Roh Kudus. Mungkin kita tak begitu acuh tentang hal ini. Tapi bagaimana kita bisa tidak merindukan-Nya? Sebab bukankah Ia adalah Kasih yang berasal dari simpul cinta yang kekal dan tak terbatas antara Bapa dan Putra sendiri. Ia hadir sebagai rahmat yang bekerja dan menguduskan jiwa kita lewat karunia-karunia dan buah-buah-Nya. Memampukan kita melakukan apa yang tak mampu kita lakukan dengan kekuatan sendiri. Ia adalah air kehidupan yang mengairi kebun jiwa kita yang kering, napas kehidupan yang Allah hembuskan pada seonggok debu tanah. Tanpa-Nya kita tak bedanya dengan orang mati ketimbang menjadi anggota dari Tubuh Kristus yang sudah bangkit. Gereja pun niscaya tak akan bertahan sampai hari ini.
Maka pikir-pikir, sebetulnya sungguh beruntunglah kita umat Katolik yang telah diwarisi dengan tradisi doa yang selalu dimulai dan diakhiri dengan tanda salib. Sebab asal dilakukan dan diucapkan dengan khidmat, bukan sebagai sebuah formalitas atau sekedar kebiasaan saja, ia dengan sendirinya telah menjadi sebuah pernyataan iman Tritunggal yang utuh. Tanda bahwa setidaknya masih ada tempat bagi Roh Kudus di dalam hati kita ini.
Comments
Post a Comment