Supaya Mereka Menjadi Satu
Yoh 17:20-26
Setiap persekutuan entah itu perkawinan, kongsi dagang, dll, selalu ada resiko perpecahan akibat perselisihan anggotanya. Gereja pun tidak terkecuali. Injil mencatat perselisihan sudah ada sejak masa-masa awal Gereja perdana. Berabad-abad kemudian bahkan mucul pertentangan-pertentangan yang lebih besar. Perpecahan pun tak terhindari. Tentunya masing-masing menganggap ajarannya lah yang paling murni.
“Supaya mereka menjadi satu” demikianlah doa Yesus kepada Bapa pada malam menjelang peristiwa sengsara-Nya dimulai. Diucapkan sampai tiga kali, niscaya ini menandakan betapa dalam kerinduan Yesus terhadap persatuan di antara para murid dan orang-orang yang percaya kepada-Nya dan juga persatuan semua dengan diri-Nya sendiri. Gereja Katolik, lewat dekrit Konsili Vatikan II dan yang dipertegas oleh alm. Bapa Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Ut Unum Sint (supaya mereka menjadi satu), tegas menyatakan bahwa perpecahan dalam Gereja jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Kristus, menjadi batu sandungan bagi dunia, dan merugikan perutusan suci, yakni pewartaan Injil. Maka ia berkomitmen penuh dan pantang mundur dalam memotori gerakan pemulihan kesatuan (ekumenis) agar semua bisa bergabung kembali menjadi sebuah Gereja yang satu dan tunggal.
Gerakan ekumenis sejati memprasyaratkan pembaharuan hati, upaya untuk hidup lebih kudus sesuai Injil, doa, dan semangat saling mengampuni. Tapi gerakan ekumenis juga bukanlah sekedar sikap saling mengalah ataupun sebuah rekonsiliasi dengan mengorbankan kebenaran. Gereja Katolik tetap memegang teguh prinsip bahwa selama 2000 tahun sejarahnya sebagai gereja apostolik di bawah kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya, Allah telah memeliharanya dalam persatuan. Dan bahwa berkat kekuatan dari Roh Kudus, segala kelemahan, kekurangan, dosa, dan ketidaksetiaan yang telah sesekali diperbuat oleh anggota-anggotanya, tak bisa memupus apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Pada saat yang bersamaan ia juga mengakui bahwa ada banyak unsur atau nilai kekudusan dan kebenaran di luarnya yang turut berperan dalam pembangunan dan kehidupan Gereja Kristus sendiri.
Sebagai langkah awal yang konkrit, kita umat Gereja Katolik setidaknya harus mulai berusaha belajar menghindari pernyataan, penilaian dan tindakan yang tidak mencerminkan dengan benar dan adil keadaan dari saudara-saudara kita yang non-Katolik. Rekonsiliasi yang sejati niscaya akan lebih mudah terealisasi jika pembaharuan hati terlebih dulu dimulai dari dalam ‘rumah tangga’ sendiri.
Setiap persekutuan entah itu perkawinan, kongsi dagang, dll, selalu ada resiko perpecahan akibat perselisihan anggotanya. Gereja pun tidak terkecuali. Injil mencatat perselisihan sudah ada sejak masa-masa awal Gereja perdana. Berabad-abad kemudian bahkan mucul pertentangan-pertentangan yang lebih besar. Perpecahan pun tak terhindari. Tentunya masing-masing menganggap ajarannya lah yang paling murni.
“Supaya mereka menjadi satu” demikianlah doa Yesus kepada Bapa pada malam menjelang peristiwa sengsara-Nya dimulai. Diucapkan sampai tiga kali, niscaya ini menandakan betapa dalam kerinduan Yesus terhadap persatuan di antara para murid dan orang-orang yang percaya kepada-Nya dan juga persatuan semua dengan diri-Nya sendiri. Gereja Katolik, lewat dekrit Konsili Vatikan II dan yang dipertegas oleh alm. Bapa Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Ut Unum Sint (supaya mereka menjadi satu), tegas menyatakan bahwa perpecahan dalam Gereja jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Kristus, menjadi batu sandungan bagi dunia, dan merugikan perutusan suci, yakni pewartaan Injil. Maka ia berkomitmen penuh dan pantang mundur dalam memotori gerakan pemulihan kesatuan (ekumenis) agar semua bisa bergabung kembali menjadi sebuah Gereja yang satu dan tunggal.
Gerakan ekumenis sejati memprasyaratkan pembaharuan hati, upaya untuk hidup lebih kudus sesuai Injil, doa, dan semangat saling mengampuni. Tapi gerakan ekumenis juga bukanlah sekedar sikap saling mengalah ataupun sebuah rekonsiliasi dengan mengorbankan kebenaran. Gereja Katolik tetap memegang teguh prinsip bahwa selama 2000 tahun sejarahnya sebagai gereja apostolik di bawah kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya, Allah telah memeliharanya dalam persatuan. Dan bahwa berkat kekuatan dari Roh Kudus, segala kelemahan, kekurangan, dosa, dan ketidaksetiaan yang telah sesekali diperbuat oleh anggota-anggotanya, tak bisa memupus apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Pada saat yang bersamaan ia juga mengakui bahwa ada banyak unsur atau nilai kekudusan dan kebenaran di luarnya yang turut berperan dalam pembangunan dan kehidupan Gereja Kristus sendiri.
Sebagai langkah awal yang konkrit, kita umat Gereja Katolik setidaknya harus mulai berusaha belajar menghindari pernyataan, penilaian dan tindakan yang tidak mencerminkan dengan benar dan adil keadaan dari saudara-saudara kita yang non-Katolik. Rekonsiliasi yang sejati niscaya akan lebih mudah terealisasi jika pembaharuan hati terlebih dulu dimulai dari dalam ‘rumah tangga’ sendiri.
Comments
Post a Comment