Kairos


Mrk 12:38-44

Perawakannya kurus kecil dan sedikit bongkok, mungkin akibat beban menahun dari pikulan yang dipanggulnya. Penampilannya sangat bersahaja dengan kopiah selalu menghiasi kepala. Itulah gambaran dari kakek tua penjaja kue lupis di masa kecilku. Kasihan melihatnya sehari-hari berkeliling di bawah terik matahari, suatu kali kami menawarkannya air minum. Entah memang karena haus atau karena sopan semata, ia pun tak menolak. Ini berlanjut menjadi kebiasaan rutin meski kami tidak belanja. Dan enaknya, sejak itu kami selalu mendapat bonus 1 potong kue setiap kali bertransaksi. Pernah pula suatu hari ia membawakan kami oleh-oleh setengah potong buah nangka besar, katanya dari pohon di rumahnya. Karena tak tega menerima, kami menyarankan agar buah tersebut ia jual saja. Tapi setelah ia bersikeras, akhirnya kami terima juga. Singkat cerita, waktu terus berjalan, kami pun semakin jarang melihatnya. Tanpa terasa hubungan kami terputus. Sang kakek sendiri entah pergi kemana.

Kenangan ini selalu saja membawa perasaan haru bercampur malu. Betapa seorang kakek yang secara materi tergolong tak mampu telah mengajarkan teladan untuk memberi dengan melimpah, sementara membayangkan diri sendiri berkelakuan seperti kaum Parisi. Di depan komunitas jemaat berlagak insan yang murah hati, tapi dalam keseharian masih saja sering melakukan eksploitasi. Sebut saja terhadap karyawan, supir atau pembantu di rumah. Seakan-akan tak puas jika harga barang atau jasa yang mereka hasilkan belum ditekan serendah-rendahnya. Kenapa harus bayar lebih kalau bisa murah?

Sang kakek, dan sang janda miskin dalam perikop Injil hari ini, sebetulnya punya saja alasan untuk tak memberi. Manusia normal mana yang hendak menuntut atau menyalahkan mereka? Dan bukankah justru merekalah yang mestinya lebih banyak menerima perhatian dari kita yang berada? Sebaliknya, dengan tak membiarkan diri tersandera oleh ketidakberdayaan ataupun oleh beban berat kehidupan yang harus dipikul selama ini, mereka niscaya telah tampil istimewa di mata Allah. Sebab mereka telah memilih bagian yang terbaik pada waktunya. Menyerahkan diri untuk bekerjasama dengan rahmat Allah. Itulah momen kairos mereka.

Momen kairos hadir di sepanjang perjalanan waktu (kronos) kehidupan kita. Ia adalah masa-masa yang menentukan, suatu persimpangan jalan, tepatnya suatu kesempatan bagi kita untuk tampil luar biasa. Sebab pada saat itulah niscaya rahmat Allah sedang menyapa. Tinggal apakah kita cukup peka dan mau menanggapinya. Bersedia untuk melepaskan kendali emosi dan logika, keluar dari zona kenyamanan masuk ke dalam wilayah yang belum pernah kita singgah. Karena jika terlewatkan, kiranya tidak akan datang lagi kesempatan yang sama. Adakah yang lebih berharga selain daripada mengecap nikmatnya Kerajaan Allah sekalipun itu cuma sekelumit saja?

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Keping Denarius

Aman Dalam Tangan-Nya