Mana Keledainya?


Markus 11:1-10

Pernahkah terlintas di pikiran mengapa setiap misa perayaan Minggu Palma di mana-mana yang terlihat hanyalah daun palma tapi tak ada keledainya? Bicara soal hewan yang satu ini, kita segera akrab dengan paradoks. Meski sudah ribuan tahun setia melayani manusia, khususnya sebagai pembawa beban dan alat transport terutama di negara berkembang, ia tetap saja dianggap bodoh dan keras kepala. Mungkin karena itulah dalam bahasa Inggris kata 'ass' sering dipakai dalam konotasi yang negatif. G.K. Chesterton menulis sebuah sajak paradoksal berjudul The Donkey. Sementara Jean Buridan, seorang filsuf Perancis, membangun teori paradoks Buridan's ass, di mana seekor keledai yang berada di antara makanan dan air akhirnya mati kelaparan dan kehausan karena tak bisa pernah memutuskan mana yang harus dipilihnya dulu.

Dalam agama Yahudi, keledai tergolong hewan yang paling nazis karena tidak memenuhi kedua syarat kosher: berkuku genap dan pemamah biak. Menariknya, keledai juga adalah satu-satunya hewan nazis yang dikecualikan dalam ketentuan hukum anak sulung, hukum yang menetapkan bahwa setiap anak laki-laki (jantan) sulung, manusia maupun hewan, harus dipersembahkan kepada Allah. Dalam hal hewan yang nazis, karena tak layak dipersembahkan di altar, ia harus ditebus oleh empunya dengan membayar sejumlah uang tertentu kepada sang imam. Jika tidak, ia mesti dibunuh dengan cara mematahkan batang lehernya. Tapi khusus buat keledai, tebusannya bukanlah dengan uang melainkan dengan domba, hewan yang kosher (Kel 34:20).

Dengan latar belakang inilah, niscaya kita dapat memperkaya pemahaman atas peristiwa Yesus, memenuhi nubuat nabi (Zak 9:9), masuk ke Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai. Keledai dalam konteks ini memang pas melambangkan kesederhanaan dan perdamaian, lawan dari kuda simbol keangkuhan dan kekuatan dunia. Tapi bukankah sosok keledai itu sekaligus juga adalah gambaran kita manusia, makhluk berdosa yang sudah bodoh, sok pintar, celakanya tegar tengkuk pula? Maka pekik 'hosanna' yang berarti 'selamatkanlah' pun memang sangat relevan. Sebab upah dosa adalah kematian kekal. Dan di sinilah letak paradoks kasih Allah. Sedalam-dalamnya jurang kejatuhan manusia, tetap jauh lebih dalam lagi rahmat-Nya. Tak terselami. Ketimbang membiarkan milik-Nya itu binasa, Ia rela habis-habisan menebusnya. Bukan dengan emas atau perak murni, tapi dengan darah daging-Nya sendiri. Ia datang ke dunia bukan hanya sebatas untuk menawarkan kuk yang ringan dan melegakan kepada budak pemikul beban dosa, tapi Ia mesti 'menunggangi'nya sendiri sampai ke garis akhir, agar diri-Nya, sang domba yang tak bernoda, bisa dibawa menuju ke tempat penyembelihan-Nya, sementara kita yang berlumuran dengan kotoran dosa bisa ditebus dan diselamatkan, bisa melenggang masuk ke dalam negeri tanpa tepi, Yerusalem abadi.

Omong-omong, sudah kelihatan keledainya? Kalau belum, maaf ... lepaskan dulu kacamata kuda kita.


Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Keping Denarius

Aman Dalam Tangan-Nya