Hari-H
Berbulan-bulan sebelum dan sampai menjelang Hari-H pasukan Sekutu melakukan penyerbuan untuk membebaskan Eropa dari cengkeraman Nazi Jerman, berbagai operasi pendahuluan telah terlebih dulu digelar: intelijen, pengelabuan, sabotase, penyapuan ranjau laut, dan lain-lain. Operasi dirancang serahasia mungkin guna memastikan penyerbuan amphibi terbesar dalam sejarah tersebut berjalan sukses.
"Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya." Karya keselamatan pun seumpama suatu operasi pembebasan. C.S. Lewis mengidentikkan dunia dengan wilayah yang telah dikuasai oleh pemberontak, mereka yang tergabung dalam kekuatan gelap. Dan kekristenan adalah kisah tentang seorang raja yang sah yang telah mendarat dalam penyamaran dan memanggil kita semua untuk bergabung dalam suatu operasi pembebasan besar (buku: Mere Christianity). Sesuai master plan, pendaratan-Nya haruslah di tempat yang tak terduga, yang tak layak bagi manusia. Kabarnya tersiar di kalangan tertentu saja, gembala dan orang bijaksana. Namun jauh sebelum itu, utusan-utusan-Nya telah terlebih dulu tiba di sepanjang sejarah. Mereka layaknya agen-agen propaganda yang melancarkan ‘kampanye urat syaraf’ agar manusia pulih ingatannya dan mau menyerahkan diri. Saat beraksi, Ia sendiri senantiasa tampil di garis terdepan. Senjata-Nya adalah pedang firman dan kasih, lebih tajam dari pedang bermata dua manapun. Tusukannya memisahkan roh dan jiwa (Ibr 4:12).
Sekalipun kuasa-Nya dahsyat, Allah bukan raja yang otoriter. Karya penyelamatan-Nya tidak dapat berjalan secara sepihak, tidak bisa dipaksakan, tetapi mutlak membutuhkan kerjasama aktif manusia lewat pembenahan diri, tepatnya lewat pertobatan. Ia merupakan suatu proses penyerahan total, menyadari bahwa kita selama ini telah keliru memihak dalam suatu perlawanan yang sia-sia terhadap raja yang berdaulat, menyadari bahwa pada akhirnya kita hanya akan binasa. Menyerah tanpa syarat dan mohon pengampunan sesegera mungkin adalah pilihan paling bijaksana.
Kedatangan-Nya kali ini masih sebatas menawarkan ‘amnesti’, terlalu dini bagi suatu ofensi. Sebab masih banyak gandum yang tumbuh di tengah ilalang. Namun akan tiba saatnya Ia akan datang kembali, dalam suatu 'serangan penghabisan', di mana tiada lagi peluang bagi negosiasi. Seperti yang C.S Lewis katakan, apa gunanya jika kita baru menyatakan berpihak kepada-Nya nanti, tatkala kita melihat seluruh alam raya luluh lantah bagaikan suatu mimpi dan sesuatu yang lain -yang tak terperikan- datang mengguncang; sesuatu yang begitu indah bagi sebagian dari kita tetapi begitu mengerikan bagi yang lainnya tanpa ada pilihan lain lagi yang tersisa?
"Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya." Karya keselamatan pun seumpama suatu operasi pembebasan. C.S. Lewis mengidentikkan dunia dengan wilayah yang telah dikuasai oleh pemberontak, mereka yang tergabung dalam kekuatan gelap. Dan kekristenan adalah kisah tentang seorang raja yang sah yang telah mendarat dalam penyamaran dan memanggil kita semua untuk bergabung dalam suatu operasi pembebasan besar (buku: Mere Christianity). Sesuai master plan, pendaratan-Nya haruslah di tempat yang tak terduga, yang tak layak bagi manusia. Kabarnya tersiar di kalangan tertentu saja, gembala dan orang bijaksana. Namun jauh sebelum itu, utusan-utusan-Nya telah terlebih dulu tiba di sepanjang sejarah. Mereka layaknya agen-agen propaganda yang melancarkan ‘kampanye urat syaraf’ agar manusia pulih ingatannya dan mau menyerahkan diri. Saat beraksi, Ia sendiri senantiasa tampil di garis terdepan. Senjata-Nya adalah pedang firman dan kasih, lebih tajam dari pedang bermata dua manapun. Tusukannya memisahkan roh dan jiwa (Ibr 4:12).
Sekalipun kuasa-Nya dahsyat, Allah bukan raja yang otoriter. Karya penyelamatan-Nya tidak dapat berjalan secara sepihak, tidak bisa dipaksakan, tetapi mutlak membutuhkan kerjasama aktif manusia lewat pembenahan diri, tepatnya lewat pertobatan. Ia merupakan suatu proses penyerahan total, menyadari bahwa kita selama ini telah keliru memihak dalam suatu perlawanan yang sia-sia terhadap raja yang berdaulat, menyadari bahwa pada akhirnya kita hanya akan binasa. Menyerah tanpa syarat dan mohon pengampunan sesegera mungkin adalah pilihan paling bijaksana.
Kedatangan-Nya kali ini masih sebatas menawarkan ‘amnesti’, terlalu dini bagi suatu ofensi. Sebab masih banyak gandum yang tumbuh di tengah ilalang. Namun akan tiba saatnya Ia akan datang kembali, dalam suatu 'serangan penghabisan', di mana tiada lagi peluang bagi negosiasi. Seperti yang C.S Lewis katakan, apa gunanya jika kita baru menyatakan berpihak kepada-Nya nanti, tatkala kita melihat seluruh alam raya luluh lantah bagaikan suatu mimpi dan sesuatu yang lain -yang tak terperikan- datang mengguncang; sesuatu yang begitu indah bagi sebagian dari kita tetapi begitu mengerikan bagi yang lainnya tanpa ada pilihan lain lagi yang tersisa?
"And there will be no sadder day, when all the birds have flown away"
Ia masih memberi waktu ... sampai kapan kita mau terus menunggu?
Comments
Post a Comment