Kebun Anggur
Ternyata lahan yang subur, pokok anggur pilihan, dan fasilitas yang memadai bukan jaminan bahwa buah yang dihasilkan oleh kebun anggur pasti manis (Yes 5:1-7). Akar yang bebas menyerap segala unsur hara memang rentan hakekatnya, cenderung memilih unsur yang salah dan mengabaikan yang benar. Maka sudah sewajarnya apabila kebun disewakan kepada penggarap sampai sang pemilik kembali nanti (Mat 21:33-43). Mereka adalah pengembang sekaligus caretaker dengan sistem bagi hasil. Adil.
Namun seiring perjalanan waktu, hati mereka tak luput terkooptasi juga oleh kejahatan. Mereka pikir usaha dan jerih payah membuat mereka lebih pantas untuk memiliki kebun daripada sang pemilik sejati. Kalau boleh sedikit berimajinasi, niscaya di benak merekapun ada pembenaran ala hamba dengan satu talenta: "Lagipula bukankah tuan kita adalah manusia yang kejam ... yang memungut dari tempat di mana ia tidak menanam?" Semangat penatalayanan berubah menjadi haus kekuasaan. Fokusnya sudah bukan pada buah tetapi pada kebunnya semata. Bukan lagi soal sharing, tetapi dividen untuk diri sendiri. Maka tiada kesempatan yang lebih baik untuk mewujudkan keinginan mereka selain ketika sang ahli waris sendiri yang datang. Domba masuk ke sarang serigala. Singkirkan dulu sang anak, bapaknya urusan nanti. Toh juga tidak jelas kapan atau betulkah ia akan pernah kembali.
Mereka mengira telah memenangkan perang yang mereka kobarkan dengan terbunuhnya sang ahli waris. Tapi bukankah sang anak memang harus mengalaminya? Mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka tidak mempunyai kuasa apapun terhadapnya tanpa ‘seizin’ bapaknya. Bapak dunia manakah yang masih mau mengutus anaknya pergi berunding dengan musuh yang telah menganiaya setiap hamba utusannya dengan keji? Karena solusi dari problem kebun anggur dan pelanggaran para penggarapnya niscaya sejak semula sudah terancang dalam skenario utama pemiliknya. Mesti ditebus dengan darah dagingnya sendiri. Benih harus jatuh ke tanah dan mati. Hanya dengan demikian ia bisa menjadi pokok anggur yang benar bagi tunas-tunas dan ranting-ranting baru yang berbuah manis.
Namun seiring perjalanan waktu, hati mereka tak luput terkooptasi juga oleh kejahatan. Mereka pikir usaha dan jerih payah membuat mereka lebih pantas untuk memiliki kebun daripada sang pemilik sejati. Kalau boleh sedikit berimajinasi, niscaya di benak merekapun ada pembenaran ala hamba dengan satu talenta: "Lagipula bukankah tuan kita adalah manusia yang kejam ... yang memungut dari tempat di mana ia tidak menanam?" Semangat penatalayanan berubah menjadi haus kekuasaan. Fokusnya sudah bukan pada buah tetapi pada kebunnya semata. Bukan lagi soal sharing, tetapi dividen untuk diri sendiri. Maka tiada kesempatan yang lebih baik untuk mewujudkan keinginan mereka selain ketika sang ahli waris sendiri yang datang. Domba masuk ke sarang serigala. Singkirkan dulu sang anak, bapaknya urusan nanti. Toh juga tidak jelas kapan atau betulkah ia akan pernah kembali.
Mereka mengira telah memenangkan perang yang mereka kobarkan dengan terbunuhnya sang ahli waris. Tapi bukankah sang anak memang harus mengalaminya? Mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka tidak mempunyai kuasa apapun terhadapnya tanpa ‘seizin’ bapaknya. Bapak dunia manakah yang masih mau mengutus anaknya pergi berunding dengan musuh yang telah menganiaya setiap hamba utusannya dengan keji? Karena solusi dari problem kebun anggur dan pelanggaran para penggarapnya niscaya sejak semula sudah terancang dalam skenario utama pemiliknya. Mesti ditebus dengan darah dagingnya sendiri. Benih harus jatuh ke tanah dan mati. Hanya dengan demikian ia bisa menjadi pokok anggur yang benar bagi tunas-tunas dan ranting-ranting baru yang berbuah manis.
Tak perlu berspekulasi tentang nasib para penggarapnya. Mereka hanyalah instrumen menyedihkan yang mengambil bagian dalam karya sang pemilik dengan cara yang mereka pilih sendiri. Mereka telah mendapat upahnya. Kalau saja mereka menyadari bahwa sang pemilik bukan sekedar membangun kebun anggur. Ia sedang membangun sesuatu yang jauh lebih megah: istananya. Batu yang dibuang oleh tukang bangunan adalah batu penjurunya. Tempat di mana perjamuan abadi akan diadakan saat menyambut kedatangannya kembali nanti. Di situ pulalah kelak anggur terbaik hasil kebun akan disajikan terakhir.
DM's "Master and Servant" Live in Buenos Aires 17 October 2009
Comments
Post a Comment