Makan


Seorang kenalan pernah mengatakan bahwa kalau sarapan, dia hanya mengkonsumsi 80% dari makanan yang disajikan. Menurutnya, salah satu faktor penyebab sakit sebetulnya adalah akibat makan kekenyangan. Terlepas dari konsep rasio konsumsinya, apa yang dikatakan ada benarnya juga. Soal makanan itu memang kritikal, ia bisa membuat manusia hidup, tapi bisa juga membuat celaka. Rasanya bukan kebetulan jika kejatuhan manusia pertama pun ada kaitannya dengan makan, dan Iblis pertama kali mencobai Yesus juga dengan senjata makanan, roti.

Dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 6: 51-58), Yesus menyatakan bahwa daging-Nya adalah makanan, roti kehidupan. Barangsiapa yang menyantap-Nya akan hidup selamanya. Yesus tahu bahwa orang-orang yang mengikuti-Nya ke Kapernaum saat itu sebetulnya hanya ingin mencari makanan dalam arti lahiriah saja (ay 26). Mereka tampaknya termasuk di antara yang ikut menikmati 5 roti dan 2 ikan yang digandakan. Maka ketika Yesus menyebutkan tentang makanan yang bertahan sampai hidup yang kekal (ay 27), tentu saja mereka ingin tahu apa resepnya. Bagi mereka, untuk mendapatkan makanan tersebut adalah fungsi dari perbuatan, bukan fungsi dari iman (ay 28-30). Maka ketika Yesus kemudian menyatakan tubuh-Nya adalah manna yang sejati, bukan seperti manna yang telah dimakan oleh nenek moyang mereka, banyak dari mereka yang pergi meninggalkan-Nya. Minta roti, koq yang ditawarkan daging manusia. Ajaran Yesus tidak realistis bagi mereka.

Kita mungkin kurang simpatik dengan sikap orang-orang Yahudi tersebut. Sudah banyak melihat mukjizat namun tetap tidak percaya. Tetapi sebetulnya kita pun bukan tidak bermasalah. Hubungan kita dengan Yesus sering lebih atas dasar prioritas. Bagi kita hidup kekal itu urusan nanti, tidak urgent. Ketimbang fokus pada hal ideal yang relatif masih jauh tersebut, kita ingin Yesus membereskan terlebih dulu hal-hal riil yang kita hadapi dalam kehidupan kita saat ini. Maka tidak heran jika doa kita melulu minta ini dan minta itu. Padahal, seperti yang Bapa Suci (Jesus from Nazareth) katakan, pada akhirnya yang sebetulnya kita butuhkan bukanlah ini dan itu, melainkan Allah dan Roh-Nya itu sendiri (Luk 11:13).

Bahwa Yesus peduli dengan kebutuhan kita itu nyata lewat peristiwa penggandaan roti dan ikan. Dan semakin nyata lagi pada saat Perjamuan Terakhir, dasar dari sakramen Ekaristi gereja, mukjizat roti sepanjang masa. Maka berbahagialah kita yang bisa mendapatkan kesempatan untuk menyantap daging Yesus dalam wujud hosti. Lewat wujud roti, misteri Inkarnasi, firman yang menjadi daging, menyatu dengan misteri Salib dan Paskah, biji gandum dari surga yang jatuh ke atas tanah dan mati untuk kemudian hidup kembali dan berbuah banyak. Roti dunia lumat dalam kita, tapi makan roti yang satu ini, kita yang lumat ke dalam-Nya, menjadi satu dengan Kristus. Sekarang terserah penghayatan kita. Sebetulnya makan itu untuk hidup atau hidup itu untuk makan?

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Keping Denarius

Aman Dalam Tangan-Nya