Dansa
Orangtua mengorbankan orang lain demi anaknya atau mengorbankan anak untuk dirinya sendiri itu bukan tidak lazim di dunia ini. Tetapi ide tentang orangtua yang mau mengorbankan nyawa anak, apalagi anak tunggalnya, demi menyelamatkan orang lain jelas lebih sulit dicerna. Hanya ada 2 alasan yang bisa membuat ide tersebut rasional: anaknya sangat jahat atau orangtuanya tidak waras.
Kunci pemahaman akan interaksi yang irasional antara Bapa, Putra, dan dunia seperti dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 3: 16-18) adalah pada hakekat dari Tritunggal itu sendiri. Meminjam deskripsi dari C.S. Lewis (penulis Kristen, juga pengarang novel fiksi The Chronicles of Narnia), Timothy Keller, dalam salah satu bukunya, The King's Cross, menggambarkan relasi antara ketiga pribadi Tritunggal sebagai suatu "tarian dansa". Masing-masing pribadi menjadikan pribadi lain sebagai sentral. Ketimbang menuntut pribadi yang lain untuk mengitarinya, masing-masing pribadi justru dengan rela mengitari pribadi lainnya. Ketimbang mencari kemuliaan diri, mereka saling memuliakan, saling melayani, menjalin suatu sendra tari ilahi lewat kasih yang berserah diri. Kekal dan tak terhingga. Allah mengalami suka cita yang sempurna.
Jika Allah adalah kasih yang sempurna dan mengalami sukacita yang tanpa batas, maka satu-satunya alasan Ia menciptakan manusia dan jagad raya ini niscaya adalah untuk membagikannya. Ia ingin agar manusia turut mengalami suka cita itu, mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya, berdansa bersama-Nya. Ia menganugerahinya dengan kehendak bebas agar manusia mampu mencintai-Nya dengan rela, tanpa paksaan, meski tahu mahluk yang Ia ciptakan menurut gambar dan rupa-Nya itu akhirnya toh akan mengkhianati-Nya juga. Akibatnya manusia kehilangan kemuliaan-Nya, bahkan mengalami kematian kekal. Tetapi karena cinta-Nya, Ia all-out menyelamatkannya pula. Puncaknya adalah dengan mengorbankan diri-Nya sendiri lewat wujud sang Putra, membayar lunas ongkos yang telah ditimbulkan oleh pelanggaran kita. Tidak ada cara lainnya. Itulah kemegahan cinta Allah.
Kunci pemahaman akan interaksi yang irasional antara Bapa, Putra, dan dunia seperti dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 3: 16-18) adalah pada hakekat dari Tritunggal itu sendiri. Meminjam deskripsi dari C.S. Lewis (penulis Kristen, juga pengarang novel fiksi The Chronicles of Narnia), Timothy Keller, dalam salah satu bukunya, The King's Cross, menggambarkan relasi antara ketiga pribadi Tritunggal sebagai suatu "tarian dansa". Masing-masing pribadi menjadikan pribadi lain sebagai sentral. Ketimbang menuntut pribadi yang lain untuk mengitarinya, masing-masing pribadi justru dengan rela mengitari pribadi lainnya. Ketimbang mencari kemuliaan diri, mereka saling memuliakan, saling melayani, menjalin suatu sendra tari ilahi lewat kasih yang berserah diri. Kekal dan tak terhingga. Allah mengalami suka cita yang sempurna.
Jika Allah adalah kasih yang sempurna dan mengalami sukacita yang tanpa batas, maka satu-satunya alasan Ia menciptakan manusia dan jagad raya ini niscaya adalah untuk membagikannya. Ia ingin agar manusia turut mengalami suka cita itu, mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya, berdansa bersama-Nya. Ia menganugerahinya dengan kehendak bebas agar manusia mampu mencintai-Nya dengan rela, tanpa paksaan, meski tahu mahluk yang Ia ciptakan menurut gambar dan rupa-Nya itu akhirnya toh akan mengkhianati-Nya juga. Akibatnya manusia kehilangan kemuliaan-Nya, bahkan mengalami kematian kekal. Tetapi karena cinta-Nya, Ia all-out menyelamatkannya pula. Puncaknya adalah dengan mengorbankan diri-Nya sendiri lewat wujud sang Putra, membayar lunas ongkos yang telah ditimbulkan oleh pelanggaran kita. Tidak ada cara lainnya. Itulah kemegahan cinta Allah.
Kini sang Putra sudah kembali ke tempat Bapa. Tapi Ia terus menyertai kita lewat Roh Kudus, Roh satu-satunya yang memampukan kita mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan (1 Kor 12: 3), yang senantiasa pula mengundang dan membimbing kita untuk tidak lagi menjadi penonton yang duduk statis di sisi ruang yang gelap, tetapi menari dengan penuh sukacita bersama Sang Koreographer kehidupan di atas pentas yang terang. Seorang penyanyi pernah bertanya lewat lirik lagunya: "And I'm on my knees, looking for the answer. Are we human or are we dancer?". Setelah sekian lama mereka-reka, kiranya sekarang saya menemukan relasinya. Saya rasa kita memang adalah keduanya. Sungguh manusia, sungguh pedansa juga.
Comments
Post a Comment