Kemuliaan
Seseorang dikatakan sungguh memuliakan sesuatu, jika baginya sesuatu itu tak ternilai harganya, indah dalam hakekatnya, sehingga ia mau melayani, menyenangkan, dan mengasihinya tanpa pamrih atau syarat, bahkan rela berkorban untuknya. Sesuatu itu menjadi tujuan, bukan alat, dari eksistensinya.
"Bapa, telah tiba saatnya; permuliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu mempermuliakan Engkau ... Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi ... sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.", demikian antara lain isi doa Yesus dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 17:1-11a).
Kita mungkin saja berpikir apa bedanya doa Yesus itu dengan doa orang egois. Bukankah Ia mempermuliakan Bapa itu ada motifnya ... kemuliaan diri? Bukankah Bapa menjadi alat untuk tujuan pribadi-Nya? Macam Yohanes dan Yakobus (Mrk 10:35-45), kita memang kerap memandang kemuliaan cuma dengan hal-hal yang agung, indah, dan yang nikmat saja. Maka apa yang terjadi paska doa tersebut seakan menjadi kunci. Tak ada Merpati yang turun di atas-Nya, tidak pula terjadi transfigurasi kedua. Sebaliknya, oleh penginjil Yohanes, kita seketika diarahkan ke suatu taman. Tempat di mana suatu drama kelam, tepatnya kisah sengsara, dimulai bagi Anak Manusia. Ia takut sampai peluh-Nya menetes seperti darah. Ia dikhianati, dicerca, dianiaya, dan disangkal oleh murid pilihan-Nya. Bahkan saat Ia justru paling membutuhkan, Ia "ditinggalkan" oleh Bapa-Nya.
Kemuliaan Yesus memprasyaratkan penderitaan fisik dan spiritual. Ia mesti mengosongkan diri secara total, mengalami kegelapan yang paling gelap, mengalami neraka. Namun sekalipun penderitaan-Nya tidak terhingga dan Ia kehilangan segalanya, masih ada yang tersisa, yang tak pernah redup: CINTA-NYA. Mengutip A.G. Sertillanges (What Jesus Saw from the Cross), Santa Teresa dari Kanak-Kanak Yesus itu tepat menyatakan neraka adalah tempat di mana cinta itu tiada. Maka neraka yang di dalamnya ada cinta, ia telah menjadi surga.
"Bapa, telah tiba saatnya; permuliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu mempermuliakan Engkau ... Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi ... sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.", demikian antara lain isi doa Yesus dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 17:1-11a).
Kita mungkin saja berpikir apa bedanya doa Yesus itu dengan doa orang egois. Bukankah Ia mempermuliakan Bapa itu ada motifnya ... kemuliaan diri? Bukankah Bapa menjadi alat untuk tujuan pribadi-Nya? Macam Yohanes dan Yakobus (Mrk 10:35-45), kita memang kerap memandang kemuliaan cuma dengan hal-hal yang agung, indah, dan yang nikmat saja. Maka apa yang terjadi paska doa tersebut seakan menjadi kunci. Tak ada Merpati yang turun di atas-Nya, tidak pula terjadi transfigurasi kedua. Sebaliknya, oleh penginjil Yohanes, kita seketika diarahkan ke suatu taman. Tempat di mana suatu drama kelam, tepatnya kisah sengsara, dimulai bagi Anak Manusia. Ia takut sampai peluh-Nya menetes seperti darah. Ia dikhianati, dicerca, dianiaya, dan disangkal oleh murid pilihan-Nya. Bahkan saat Ia justru paling membutuhkan, Ia "ditinggalkan" oleh Bapa-Nya.
Kemuliaan Yesus memprasyaratkan penderitaan fisik dan spiritual. Ia mesti mengosongkan diri secara total, mengalami kegelapan yang paling gelap, mengalami neraka. Namun sekalipun penderitaan-Nya tidak terhingga dan Ia kehilangan segalanya, masih ada yang tersisa, yang tak pernah redup: CINTA-NYA. Mengutip A.G. Sertillanges (What Jesus Saw from the Cross), Santa Teresa dari Kanak-Kanak Yesus itu tepat menyatakan neraka adalah tempat di mana cinta itu tiada. Maka neraka yang di dalamnya ada cinta, ia telah menjadi surga.
Yesus bersabda: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat 16:24). Penyangkalan diri dan pikul salib adalah identik penderitaan. Tapi inilah kabar gembiranya: Yesus telah menjalaninya sendirian untuk kita dan Ia menang, agar pada gilirannya kita pun bisa menjalani bersama-Nya. Tak akan Ia meninggalkan kita, sebab kita adalah milik-Nya. Maka mengutip surat Petrus dalam bacaan hari ini (1 Pet 4:13-16), jika kita mendapat bagian dalam penderitaan Yesus, janganlah berkecil hati, tetapi tetap bersukacitalah dan muliakanlah Allah dalam nama Yesus. Sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah, ada pada kita. Agar kita pun boleh bersukacita saat Ia menyatakan kemuliaan-Nya.
Comments
Post a Comment