Garam dan Terang
Seorang pengusaha non-Kristen memiliki suatu kelompok usaha yang besar. Menariknya, hampir seluruh jajaran eksekutif, asisten, dan para sekretaris di sekelilingnya beragama Kristen. Seorang kolega pernah bertanya mengapa sang Boss tidak di-injili saja supaya ikut Kristus juga. Belakangan ia baru tahu sang Boss tidak tertarik dengan kekristenan karena pengalaman negatifnya berbisnis dengan pengusaha-pengusaha Kristen.
Seorang kolega non-Kristen lain, sebut saja Thomas, juga pernah mengeluh koq bisa seorang kenalannya yang berkecimpung di penegakan hukum begitu bermental 'uud', padahal ia seorang Kristen. Di benaknya, orang gereja itu seharusnya jujur. Maka wajar saja jika seorang kolega yang lain lagi, sebut saja Aliong, begitu bangganya menjadi seorang Kristen. Baginya, orang-orang Kristen itu memiliki standar moral yang lebih tinggi. Kalau berbuat salah sedikit saja, gampang jadi cemoohan, seakan-akan berbuat dosa itu adalah domain eksklusif orang non-Kristen saja. Sedikit berfilosofi, Aliong mengatakan bahwa orang Kristen itu belum menjadi garam tapi sudah menjadi terang. Entah apa maksudnya.
Hari ini Yesus juga bicara tentang garam dan terang. Garam dikenal berfungsi memberi citarasa masakan, mengawetkan, dan juga efektif untuk mencairkan es. Tapi agar tidak kontraproduktif, pemakaian dan takarannya haruslah pas. Ada “sweet zone” nya. Sayangnya, ‘garam’ orang Kristen itu rentan overdosis, di satu sisi gampang obral bicara tentang kasih tapi di sisi lain ternyata jauh lebih cinta diri. Hampir tidak ada bedanya dengan kaum Parisi. Jadi batu sandungan bagi orang lain. Maka adalah tugas kita untuk terus berusaha menjadi garam yang benar, yang bisa menghadirkan sukacita bagi sesama lewat gaya hidup kasih, membawa dan menjaga pesan cinta Tuhan agar tetap menjadi Kabar Gembira yang tidak tawar ataupun basi, hingga pada saatnya sanggup pula meluluhkan hati yang telah mengeras akibat tumpukan debu dosa selama ini.
Meski rentan overdosis, orang Kristen jangan pernah sekali-kali malu apalagi takut berbuat baik secara terang-terangan. Kita wajib berbuat baik bukan karena trend atau agar dibenarkan dan dipuji, tetapi karena kita telah menerima kebaikan dari Tuhan terlebih dahulu. Pay it forward. Maka jadilah terang seterang-terangnya untuk mengalahkan kegelapan. Karena “jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu”. Terang seindah nyala lilin, yang membakar diri demi memberikan cahaya dan kehangatan bagi sekitarnya. Saya pun jadi teringat pada lilin sembahyang klenteng yang besar berwarna merah milik mendiang Ama (nenek) saya dulu. Nyalanya tidaklah kalah terang dari lilin gereja, bahkan adakalanya lebih lama. Pikir-pikir, terang (dan garam) sebetulmya juga bukanlah domain eksklusif orang Kristen saja. Ah, syukurlah.
Seorang kolega non-Kristen lain, sebut saja Thomas, juga pernah mengeluh koq bisa seorang kenalannya yang berkecimpung di penegakan hukum begitu bermental 'uud', padahal ia seorang Kristen. Di benaknya, orang gereja itu seharusnya jujur. Maka wajar saja jika seorang kolega yang lain lagi, sebut saja Aliong, begitu bangganya menjadi seorang Kristen. Baginya, orang-orang Kristen itu memiliki standar moral yang lebih tinggi. Kalau berbuat salah sedikit saja, gampang jadi cemoohan, seakan-akan berbuat dosa itu adalah domain eksklusif orang non-Kristen saja. Sedikit berfilosofi, Aliong mengatakan bahwa orang Kristen itu belum menjadi garam tapi sudah menjadi terang. Entah apa maksudnya.
Hari ini Yesus juga bicara tentang garam dan terang. Garam dikenal berfungsi memberi citarasa masakan, mengawetkan, dan juga efektif untuk mencairkan es. Tapi agar tidak kontraproduktif, pemakaian dan takarannya haruslah pas. Ada “sweet zone” nya. Sayangnya, ‘garam’ orang Kristen itu rentan overdosis, di satu sisi gampang obral bicara tentang kasih tapi di sisi lain ternyata jauh lebih cinta diri. Hampir tidak ada bedanya dengan kaum Parisi. Jadi batu sandungan bagi orang lain. Maka adalah tugas kita untuk terus berusaha menjadi garam yang benar, yang bisa menghadirkan sukacita bagi sesama lewat gaya hidup kasih, membawa dan menjaga pesan cinta Tuhan agar tetap menjadi Kabar Gembira yang tidak tawar ataupun basi, hingga pada saatnya sanggup pula meluluhkan hati yang telah mengeras akibat tumpukan debu dosa selama ini.
Meski rentan overdosis, orang Kristen jangan pernah sekali-kali malu apalagi takut berbuat baik secara terang-terangan. Kita wajib berbuat baik bukan karena trend atau agar dibenarkan dan dipuji, tetapi karena kita telah menerima kebaikan dari Tuhan terlebih dahulu. Pay it forward. Maka jadilah terang seterang-terangnya untuk mengalahkan kegelapan. Karena “jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu”. Terang seindah nyala lilin, yang membakar diri demi memberikan cahaya dan kehangatan bagi sekitarnya. Saya pun jadi teringat pada lilin sembahyang klenteng yang besar berwarna merah milik mendiang Ama (nenek) saya dulu. Nyalanya tidaklah kalah terang dari lilin gereja, bahkan adakalanya lebih lama. Pikir-pikir, terang (dan garam) sebetulmya juga bukanlah domain eksklusif orang Kristen saja. Ah, syukurlah.
Comments
Post a Comment