"Juallah Segala Milikmu dan Berikanlah Sedekah"


Menyikapi sabda Yesus di atas, pertanyaan yang instan muncul di benak kita barangkali sama seperti reaksi Santo Petrus atas perumpamaan Yesus hari ini (Luk 12:32-48): Kepada siapa ini ditujukan? Kita semua atau kepada para murid saja?

Kalau boleh berspekulasi sedikit, terkesan ada semangat elitisme dalam nada pertanyaan Santo Petrus (ay 41). Seakan ingin mendapat penegasan bahwa interaksi antara tuan dan hamba dan upah kebahagiaannya (ay 37-38) adalah privilese eksklusif para murid saja. Sementara sikap kita terhadap hal yang dirasakan membebani seperti sabda Yesus di atas cenderung kebalikannya: “Ini bukan untuk kita. Untuk para murid. Merekalah 'kawanan kecil' itu.”

Mentalitas ping-pong demikian niscaya berakar dari paradigma yang keliru tentang arti memiliki. Kita beranggapan jerih payah ataupun status eksklusif membuat kita berhak mutlak atas sesuatu. Manusia menjadi lekat pada kepunyaannya, lupa bahwa dari sejak semula itu sebetulnya bukan miliknya. Dan ketika rasa takut dan egoisme mulai berkuasa, kita bukan saja sulit untuk berbagi, tetapi ada kalanya juga tidak rela kalau orang lain, apalagi yang tidak ‘setaat’ kita, menikmati kebaikan Allah.

Yesus tampaknya mau mengingatkan bahwa yang lebih utama dalam hidup bukanlah kepemilikan (ownership) melainkan penatalayanan (stewardship). Bahwa kita tidak lain cuma hamba yang diserahkan tugas sebagai pengurus rumah, pekerja di kebun anggur sewaan. Dalam konteks inilah kita  mungkin bisa lebih memahami mengapa Yesus tidak menjawab langsung pertanyaan Santo Petrus tetapi memberikan perumpamaan lain tentang hamba yang menjadi pengurus rumah, kepala dari hamba-hamba lainnya. Seakan-akan Yesus ingin mengatakan bahwa ketimbang fokus pada privilese, para murid seyogyanya menyadari ada tanggung jawab pelayanan yang lebih besar, yaitu mengurusi dan memelihara dengan baik apa yang telah dipercayakan oleh Allah, bukan menjadi pemimpin yang haus kekuasaan dan mau dilayani saja.

Yesus sendiri memberikan teladan atas pelayanan yang diperumpamakan-Nya (ay 37) di Perjamuan Terakhir (lih. Yoh 13). Ia adalah sang Tuan yang telah merelakan segalanya demi menebus lunas hamba-hamba-Nya. Jika yang menjadi tuan saja bersedia turun untuk melayani, apalagi  seyogyanya seorang hamba. Dan belajar pula dari iman Abraham dalam menjawab panggilan Allah, semoga kitapun sanggup meninggalkan kemapanan dan menyerahkan seluruh harta dan keluarga kita ke dalam pemeliharaan-Nya, berani berjalan menuju tempat yang baru sebagai persiapan untuk masuk ke dalam kota yang direncanakan dan dibangun sendiri oleh-Nya (Ibr 11:10). Tidak lagi takut bergabung dengan 'kawanan kecil' dalam perziarahan mewarisi harta sesungguhnya, Kerajaan Allah (Luk 12:32).

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Keping Denarius

Aman Dalam Tangan-Nya