Tiada Yang Lebih Memuaskan
Seorang anak meminta warisan sebelum orangtuanya meninggal bisa jadi adalah tabu bagi masyarakat berbudaya di manapun. Ini ibarat menyumpahi orangtua untuk cepat mati. Tetapi alih-alih marah, sang Ayah ternyata mengabulkan permintaan si Bungsu seperti yang diceritakan dalam Injil hari ini (Luk 15:1-3, 11-32).
Si Bungsu mengingatkan kita kepada Adam yang ditempatkan di Firdaus dan diberi kuasa oleh Allah untuk menikmati segalanya kecuali buah dari satu pohon. Sama seperti Adam (dan Hawa), si Bungsu ternyata masih belum puas dengan semua fasilitas yang niscaya juga bebas dinikmatinya bersama si Sulung di rumah sang Ayah. “…segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” (Luk 15:31). Ia ingin menjadi sama seperti sang Ayah, berkuasa atas harta dan dirinya sendiri. “…dan kamu akan menjadi seperti Allah …” (Kej 3:5). Ia memilih untuk pergi mencari hal-hal yang lebih memuaskan lagi, hanya untuk menemukan realita bahwa di luar domain sang Ayah ternyata tidak ada kebahagiaan sejati kecuali penderitaan. Pendek cerita, si Bungsu bertobat dan sang Ayah mengampuninya, sambil harus menghibur si Sulung yang iri dan kecewa.
Si Bungsu dan si Sulung adalah gambaran umum kita, di satu sisi pemberontak dan mau seenaknya, di sisi lain cuma taat secara semu karena terpaksa atau karena ada maunya. Si Bungsu akhirnya bertobat, sementara Alkitab tidak menceritakan lebih lanjut sikap si Sulung, meski mungkin sudah bisa kita duga juga mengingat kelompok yang niscaya diwakilinya. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, jika sang Ayah merepresentasikan Bapa, di manakah Yesus sendiri dalam kisah ini? Dan jika pengampunan bisa diperoleh langsung dari Bapa, masih relevankah Yesus?
Si Bungsu dan si Sulung adalah gambaran umum kita, di satu sisi pemberontak dan mau seenaknya, di sisi lain cuma taat secara semu karena terpaksa atau karena ada maunya. Si Bungsu akhirnya bertobat, sementara Alkitab tidak menceritakan lebih lanjut sikap si Sulung, meski mungkin sudah bisa kita duga juga mengingat kelompok yang niscaya diwakilinya. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, jika sang Ayah merepresentasikan Bapa, di manakah Yesus sendiri dalam kisah ini? Dan jika pengampunan bisa diperoleh langsung dari Bapa, masih relevankah Yesus?
Di sinilah niscaya letak keindahan kasih Allah. Dia bukan hanya Bapa yang pasif menunggu saja. Melalui Putra, Dia lah sang gembala yang mencari dan menemukan kita orang yang tersesat, dan yang mau memanggul salib kebobrokan hidup kita sebagai ganti domba di atas pundak-Nya. Dia lah sapu yang membersihkan tumpukan debu kotoran dosa kita agar dirham, diri kita yang berharga di mata-Nya, dapat disingkapkan kembali. Dia lah tangan sang Ayah yang, menurut Bapa Suci (buku: Jesus of Nazareth), merupakan kuk ringan yang dirangkulkan ke atas pundak kita, bukan untuk menambah beban melainkan sebagai tanda kasih-Nya. Dan akhirnya, Dia lah si Sulung yang sejati, yang oleh karena-Nya, kita sebagai saudara-saudara-Nya berhak memanggil Allah dengan sebutan Bapa. Si Sulung yang karena ketaatan-Nya, rela menanggung ongkos pesta perdamaian kita dan Bapa dengan warisan yang seyogyanya sudah sepenuhnya menjadi hak milik-Nya, membayar pelanggaran kita dengan darah-Nya yang mahal.
Tiada yang bisa lebih memuaskan selain tinggal bersama dan di dalam Dia. Atau jangan-jangan kita memang berpikir sebaliknya?
Comments
Post a Comment