Passionate for Christ
Kita semua niscaya pernah menonton Passion of the Christ, film karya Mel Gibson tentang kisah sengsara Yesus yang sarat dengan adegan memilukan. Mendiang Bapak Suci Yohanes Paulus II konon pernah menyebut film tersebut: “as it was”, seperti apa adanya. Maka wajar saja jika setiap peringatan sengsara Yesus nuansanya pun cenderung melankolis. Bahkan tidak jarang ada umat yang menitikkan airmata saat pasio dibacakan atau diperan-ulangkan. Apa yang sesungguhnya kita tangisi?
“Janganlah menangisi Aku.” Yesus berkata kepada wanita-wanita Yerusalem yang mengikuti-Nya saat prosesi kayu salib. Tentang ini, A.G. Sertillanges (1863-1948), seorang pastor Dominikan yang juga pernah hidup di Yerusalem, menulis dalam What Jesus Saw from the Cross: “Yesus tidak menolak belas kasihan mereka, tetapi Ia prihatin pada ‘kebutaan’ yang meratapi 'akibat' dan melupakan 'sebab', yang iba kepada seorang korban yang mulia tanpa menyadari nasib yang jauh lebih buruk dari para pembunuh-Nya, yang lupa bahwa yang menganiaya-Nya adalah sanak saudara mereka sendiri, lewat suatu kekerabatan yang penuh misteri …. Sebab para pembunuh tersebut adalah anak-anak mereka.”
Betul. Secara kolektif, kita semua pada dasarnya ikut menganiaya dan membunuh Yesus. Maka pasio sama sekali bukan tentang anti-semit, anti-Yahudi, tetapi tentang kita, para pemuja yang 5 hari kemudian berubah menjadi penista. Memang sulit untuk mengerti bagaimana Allah yang maha kuasa mengizinkan diri-Nya, melalui putra-Nya yang terkasih, dianiaya dan dibunuh di atas kayu salib yang hina oleh makhluk debu tanah ciptaan-Nya. Padahal manusia lah yang juga terlebih dahulu mengkhianati-Nya lewat dosa. Sekalipun Ia berdaulat penuh untuk memusnahkan, tetapi hal itu “tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, tidak dibalas-Nya setimpal dengan kesalahan kita” (Maz 103:10). Bahkan jauh lebih memukau lagi, ibarat seorang Hakim Agung yang karena keadilan Ilahi absolut tetap harus menjatuhkan hukuman mati atas dosa. Ia mau turun dari tahta, melepas jubah kebesaran-Nya dan mengenakannya kepada kita sang terpidana. Begitu besar kasih-Nya, Ia menawarkan silih atas hukuman kita, bersedia mati untuk kita.
Kayu salib lah tempat di mana keadilan dan pengampunan Ilahi dipenuhi sekaligus oleh Yesus. Justru di dalam yang terlihat lemah dan hina, kekuatan cinta Allah menjadi sempurna. Kuasa dosa, dengan mana kita mengambil tempat Allah, dihancurkan oleh anugerah kasih di mana Allah yang sebaliknya mengambil tempat kita. Mari kita peringati sengsara Yesus bukan cuma sebagai rutinitas tahunan, tetapi hayatilah makna sesungguhnya. Hiduplah untuk-Nya yang terlebih dahulu mati untuk kita. Kenali dan cintailah Dia sepenuhnya. Sehingga ketika kita harus disalib bersama-Nya, kita pun tahu harus menjadi penyamun yang mana. Maka niscaya hidup kekal jua lah yang menjadi upah kita.
Comments
Post a Comment