Dosa, Penderitaan, dan Pohon Ara Yang Tidak Berbuah
Orang-orang Galilea dalam bacaan Injil hari ini (Luk 13:1-9) ditengarai sedang berziarah di Yerusalem merayakan salah satu hari besar keagamaan Yahudi ketika mereka dibunuh oleh Pilatus. Tragedi ini mengingatkan kita pada peristiwa peledakan bom di berbagai gereja di Indonesia pada malam natal tahun 2000. Berada di tempat dan dalam suasana yang kudus ternyata tidak menjamin bahwa hal-hal yang buruk tidak terjadi. Naas bisa menimpa siapa, kapan, dan di mana saja, termasuk ke-18 orang yang mati tertimpa menara dekat kolam Siloam.
Pada zaman itu, penderitaan dipandang sebagai akibat dari dosa. Bahkan dalam suatu peristiwa, murid-murid Yesus mempertanyakan dosa siapakah yang menyebabkan seseorang yang buta sejak lahir (Yoh 9). Apa ‘moral hazard’ paradigma demikian? Bukankah ia justru bisa mendorong ketaatan yang lebih lagi kepada hukum Tuhan? Karena apabila masih ada penderitaan, bukankah berarti seseorang belum sempurna mematuhi hukum Taurat? Namun barangkali di sinilah letak persoalannya. Ketika ternyata manusia pada hakekatnya tidak mampu memenuhi hukum Taurat dengan sempurna, yang terjadi akhirnya hanyalah ketaatan semu yang rentan terhadap formalitas, fanatisme, dan kesombongan diri. Pertobatan adalah antithesis yang ditawarkan oleh Yesus. Ia merupakan tanggapan manusia atas anugerah keselamatan Allah yang membutuhkan kerendahanhati dan kepekaandiri. “Sebab siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh” (1 Kor 10:12).
Tetapi niscaya Yesus tidak ingin kita sampai di situ saja. Pertobatan seyogyanya tidak cuma menjadi tujuan akhir, melainkan awal dari suatu proses pematangan iman yang semakin dinamis. “Ah semua agama kan sama. Yang penting jangan jahat sama orang.” adalah klise. Orang Kristen sejati dituntut untuk tidak cukup berhenti melakukan hal-hal yang berdosa tetapi lebih dari itu, harus hidup ‘surplus’ (Mat 5:20). Mina tidak untuk disimpan dalam saputangan tetapi untuk dilipatgandakan (Luk 19:11-27).
Mari, daripada sibuk mengukur relativitas dosa atau kesalahan seperti dalam kisah Injil hari ini, atau mempersoalkan keadilan upah Tuhan seperti oleh para pekerja di kebun anggur, atau mencari-cari jawaban atas misteri penderitaan di dunia yang boleh jadi sebenarnya sudah diputuskan di alam kekal seperti halnya yang menimpa Ayub, lebih baik kita berlomba-lomba menjadi seperti pohon ara yang tidak hanya menghasilkan pada musimnya saja tetapi setiap saat berbuah (Mrk 11:12-14). Buah yang tidak semata untuk dinikmati oleh diri sendiri tetapi menjadi pelayanan kasih bagi sesama. Semoga dengan demikian semboyan gereja kita pun semakin terwujud nyata.
Comments
Post a Comment