Waktu ≠ Uang, Waktu = Kehidupan
Injil Markus 1:29-39 memperlihatkan betapa mengesankannya penatalayanan waktu yang dilakukan oleh Yesus: mengajar di rumah ibadat pada hari Sabat, pergi ke rumah Simon dan menyembuhkan mertuanya pada sore harinya, lalu setelah matahari terbenam “buka praktek” menyembuhkan orang-orang yang sakit dan kerasukan setan, bangun subuh-subuh untuk berdoa, dan sesudah itu, berangkat menuju kota-kota lainnya. Yesus sangat sibuk, jadwalnya padat, tetapi tidak pernah terkesan buru-buru dan kehabisan waktu.
Kunci dari manajemen waktu Yesus yang efektif adalah fokus pada pelayanan yang visioner. Ia datang bukan untuk menyembuhkan seluruh orang yang mencari-Nya (Mark 1:37). Ia bisa saja memanfaatkan kuasa-Nya untuk ketenaran pribadi. Tetapi ini juga tidak dilakukan-Nya. Bagi Yesus, penyembuhan fisik bukanlah tujuan utama melainkan mengarah kepada tujuan yang lebih besar, yaitu Kerajaan Allah. “... supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang.”. Kalau tidak, barangkali Yesus tidak akan pernah naik ke atas kayu salib karena sibuk menyembuhkan kelemahan fisik di dunia atau malah sebaliknya, disalibkan lebih awal karena “rahasia Mesianik”-Nya terungkap prematur.
Kunci dari manajemen waktu Yesus yang efektif adalah fokus pada pelayanan yang visioner. Ia datang bukan untuk menyembuhkan seluruh orang yang mencari-Nya (Mark 1:37). Ia bisa saja memanfaatkan kuasa-Nya untuk ketenaran pribadi. Tetapi ini juga tidak dilakukan-Nya. Bagi Yesus, penyembuhan fisik bukanlah tujuan utama melainkan mengarah kepada tujuan yang lebih besar, yaitu Kerajaan Allah. “... supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang.”. Kalau tidak, barangkali Yesus tidak akan pernah naik ke atas kayu salib karena sibuk menyembuhkan kelemahan fisik di dunia atau malah sebaliknya, disalibkan lebih awal karena “rahasia Mesianik”-Nya terungkap prematur.
Zaman ini, semboyan “waktu adalah uang” seakan-akan telah menjadi dogma. Sedemikian berharganya waktu, layaknya uang, membuat kita tidak pernah merasa cukup memilikinya. Lain pula halnya dengan Ayub. Frustrasi karena mengalami kemalangan dan penderitaan yang hebat, Ayub sempat memandang waktu sebagai kesia-siaan (Ayub 7:6), bahkan mengutuki diri sendiri dan minta mati. Antara Ayub, kita, dan Yesus ada tiga sikap yang sangat berbeda terhadap waktu: Ayub meratapinya, kita cenderung diperbudak olehnya, tetapi Yesus memanfaatkan waktu dalam kemerdekaan-Nya sebagai kesempatan untuk melayani dan melakukan pekerjaan Bapa meski Ia tahu upah-Nya adalah mati di kayu salib. Bagi Yesus, waktu adalah hidup dan kelimpahan.
Meneladani pula sikap Paulus dalam bacaan hari ini (1 Kor 9:16-19, 22-23), marilah kita gunakan waktu sebaik-baiknya untuk meneruskan karya Yesus mewartakan dan menghadirkan Kerajaan Allah dengan talenta masing-masing. Melayani bukan dengan motif untuk mendapat jaminan keselamatan, lari dari konflik rumah tangga, ataupun demi ketenaran diri, melainkan dengan kerendahan hati mau bersandar pada kekuatan dan kehendak Bapa. Niscaya dengan demikian, hidup kita akan semakin berlimpah, Ia semakin dipermuliakan, dan kita pun layak mengambil bagian dalam anugerah kemuliaan-Nya.
Comments
Post a Comment