"Aku Mau, Sembuhlah!" (Mrk 1:41)


Tzaraath (Ibrani) atau yang disebut kusta dalam alkitab terjemahan lama tidak mutlak pasti merupakan penyakit kusta (Hansen) yang dikenal dalam ilmu kedokteran modern. Tzaraath mencakup ragam penyakit pada kulit yang lebih luas, bahkan termasuk jamur yang menyerang pakaian dan dinding rumah. Karena terbatasnya pengetahuan pada zaman Perjanjian tentang penyakit, apalagi pengobatannya, dapat dimaklumi jika tzaraath dianggap berbahaya. Penderitanya dikucilkan dari keluarga dan masyarakat, tinggal di luar perkemahan, dan harus menyatakan diri sendiri najis. Penderitaan terbesar bukanlah sakit itu sendiri tetapi karena ditolak dan disisihkan.

Dari kacamata rohani, tzaraath mirip dengan gambaran dosa. Sama seperti tzaraath yang dimulai dari titik kecil pada kulit, dosa pun sering dimulai dari hal-hal yang kecil dan sepele, yang iseng-iseng. Tanpa disadari oleh pengidapnya, ternyata telah meluas ke berbagai sendi kehidupan. Dosa membuat manusia terpisah dari komunitas kudus Allah, bahkan terkucil dari kasih Allah itu sendiri. Tak ada obat yang mampu memulihkan, kecuali anugerah.

Kita patut bersyukur, tidak seperti imam dalam Perjanjian Lama yang cuma menetapkan apakah seseorang mengidap tzaraath atau bukan tanpa bisa mengobati, kita mempunyai seorang Imam Agung yang mau menjamah kita, orang-orang yang tidak layak, penderita tzaraath rohani, agar kita sembuh dan diselamatkan. Imam Agung sekaligus gembala yang tidak membiarkan satu pun domba-Nya terkucil atau hilang demi sembilan puluh sembilan domba lainnya.

Ironisnya, kita sendiri memperlakukan Yesus seperti penderita tzaraath. “Kita menghina dan menjauhi dia ... Tak seorang pun mau memandang dia dan kita pun tidak mengindahkan dia.” (Yes 53:3). Bukankah dengan mengabaikan sesama yang lapar, haus, asing, tidak berpakaian, sakit, atau yang dipenjarakan, berarti kita juga menolak dan mengucilkan Yesus? Padahal “penyakit kitalah yang ditanggungnya” (Yes 53:4a).

Iman yang sejati menuntut kita untuk mendobrak status quo kehidupan yang dikuasai oleh egoisme dan ketakutan. Berani keluar dari zona kenyamanan untuk “pergi kepada-Nya di luar perkemahan” (Ibr 13:13), merangkul yang lemah dan terbuang, sekalipun jika kita harus ikut menanggung bilur-bilur penderitaan sesama. Mintalah Roh Kudus untuk membimbing, agar sama seperti Yesus, si Samaria yang baik hati, kita pun bisa memiliki “hati yang tergerak oleh belas kasihan”. Sehingga saat kita kelak datang kepada-Nya memohon pemulihan, yakinlah Yesus juga akan menjawab: “Aku mau, sembuhlah!”


Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Keping Denarius

Aman Dalam Tangan-Nya