Pajak
Pernyataan-pernyataan berikut barangkali kita sudah sering dengar: “pajaknya terlalu tinggi sedangkan fasilitas dan pelayanan publiknya minim”, “yang dibayar toh dikorupsi juga”, “meskipun kita jujur, aparat tetap akan memeras”, “buat apa bayar ke negara, mendingan bagi sendiri saja kepada orang-orang miskin”, dan seterusnya.
Seorang profesor hukum mengatakan bahwa pajak adalah isu moral yang penting. Pajak sangat diperlukan agar pemerintah dapat mengumpulkan pendapatan untuk membiayai kepentingan umum. Orang tidak mungkin dapat menikmati manfaat yang paling sederhana dari suatu peradaban tanpa pajak. Persoalannya, orang tidak senang membayar pajak tetapi mau menikmati fasilitas publik seperti keamanan, pelayanan publik, jalan, dan sebagainya.
Apakah dasar alkitabiah yang dapat membantu umat kristiani, khususnya kita warga paroki Regina Caeli, menentukan sikap terhadap kewajiban pajak?
Pajak sudah dikenal sejak masa Perjanjian Lama. Keluaran 30 menceritakan Tuhan memerintahkan Musa untuk memungut ‚uang perdamaian’ dari umat Israel sebagai persembahan kepada-Nya. Praktik tersebut juga dilakukan pada zaman Raja Yoas. Disebutkan dalam 2 Tawarikh 24 bahwa umat Israel bersukacita membayar pajak untuk membangun rumah Tuhan. Injil sinoptik Matius, Markus, dan Lukas mencatat dialog Yesus dengan kaum Farisi dan Herodian mengenai apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar. Dan Yesus menjawab: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” Rasul Paulus di dalam suratnya Roma 13 bahkan secara tegas menyuruh membayar pajak kepada pemerintah yang disebutnya sebagai hamba Allah untuk kebaikan umat. Yohanes Pembaptis menasehati para pemungut cukai yang mau dibaptis untuk tidak menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan (Luk 3:12-13). Dan yang paling menarik adalah Yesus sendiri membayar pajak (Mat 17:24-27).
Mari kita fokuskan refleksi kita kali ini pada perikop yang terakhir disebutkan di atas. Setidaknya ada 4 hal yang menarik. Pertama, meski memiliki status istimewa sebagai Anak Allah, Yesus mau membayar pajak supaya tidak menjadi batu sandungan. Raja-raja dunia (Mat 17:25) yang dimaksud Yesus tidak lain niscaya adalah kekaisaran Romawi yang pada zaman itu mewajibkan pungutan pajak bukan dari warga Roma (rakyatnya) tetapi dari penduduk daerah yang ditaklukkan (orang asing). Lewat simbol ini, Yesus bisa jadi mau menegaskan bahwa Dia sendiri adalah Anak Allah, bukan orang asing, dalam konteks otoritas bait Allah. Reaksi Yesus mengagumkan. Meski sejatinya tidak layak ditagih pajak bait Allah, Ia tidak menggerutu, mengecam, ataupun menghindari. Yesus niscaya tahu jika Ia meributkan pajak bait Allah tersebut, para pengikutnya dan kaum Yahudi lainnya bisa menjadikan alasan ini untuk tidak membayar pajak juga. Jika itu terjadi, selain dapat menggangu pemeliharaan bait Allah untuk kepentingan orang banyak, Yesus juga dapat dianggap menentang suatu tradisi religius dalam Taurat (Kel 30) dan akan dipandang tidak konsisten dengan ajaran-Nya sendiri perihal hukum Taurat (Mat 5:17-19).
Kedua, Tuhan mau kita berkarya untuk memperoleh berkat yang telah disediakan-Nya secara cuma-cuma. Yesus mengadakan mukjizat karena Ia memang memiliki kuasa untuk itu. Lagipula Yesus tidak memperdagangkan barang, jasa, apalagi keselamatan, bagaimana bisa punya penghasilan? Tetapi Yesus tidak mau mempergunakan kuasa tersebut secara tidak bertanggung jawab. Ia bisa saja menghadirkan dirham tersebut seketika itu juga misalnya di dalam kantong pakaian Petrus, bukan di dalam mulut ikan, agar masalahnya cepat beres dan Petrus pun tidak perlu repot memancing ikan terlebih dahulu. Tetapi Yesus tentu tahu bahwa itu tidak mendidik. Yesus mau uang untuk membayar pajak tersebut tetap didapatkan dengan suatu usaha atau jerih payah.
Ketiga, kewajiban yang sering kita anggap sebagai beban ada kalanya menjadi sarana Tuhan untuk mendatangkan berkat kehidupan. Dalam sejarah alkitab, seperti halnya roti, ikan adalah makanan dasar, dibutuhkan untuk memuaskan rasa lapar manusia. Tanpa makanan, kehidupan fisik tidak mungkin berlangsung. Ikan oleh karenanya menjadi lambang penghidupan dan kehidupan. Yesus tidak hanya ‘menyediakan’ uang untuk membayar pajak, tetapi juga ikannya. Yesus bisa saja menaruh dirhamnya di dalam mulut ular. Tetapi untunglah sifat demikian tidak mendapat tempat dalam hakekat keilahian-Nya. Bapak manakah jika anaknya minta ikan, memberikan ular?
Dan terakhir, dengan dirham yang disediakan-Nya bukan hanya untuk diri-Nya sendiri melainkan untuk Petrus juga, Yesus juga mau memberi teladan kepada kita untuk senantiasa berbagi.
Meneladani sikap Yesus yang tidak melihat status Anak Sulung-Nya sebagai hak istimewa yang harus dipertahankan, kita bisa belajar untuk menanggalkan ego kita. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil tidak dapat diperjuangkan dengan melalaikan kewajiban kita karena pada hakekatnya setiap rupiah pajak yang kita bayar dapat memampukan kaum papa mendapatkan pengobatan murah atau pendidikan gratis yang memberi mereka harapan, sekecil apapun itu, untuk keluar dari keterpurukan mereka. Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan untuk salah seorang saudara yang paling hina, kita telah melakukan untuk-Nya. Kalau pajaknya tidak adil, mari kita perjuangkan untuk diperbaiki lewat hak sipil dan hak politik kita sebagai warga negara, sekalipun tidak mudah. Jerih payah kita dalam mendapatkan berkat Tuhan dengan demikian akan terasa lebih indah. Jika kita setia kepada kewajiban kita, Tuhan bisa menganugerahkan semakin banyak dirham-dirham baru. Dan pada saat kita diperkaya, niscaya kita tidak lagi khawatir akan kehilangan harta dan akan kewajiban pajak kita, tetapi kita semakin bersyukur dan semakin mampu berbagi.
Marilah kita menguji segala sesuatu dengan barometer rohani kita: buah roh. Apakah sesungguhnya ada sukacita dan damai sejahtera dalam melakukan kewajiban pajak kita saat ini? Jika ya, teruskanlah. Tetapi kalau yang ada hanyalah kekhawatiran, patutlah kita merenungkannya kembali agar harta yang kita kumpulkan, tak ada ngengat yang akan mampu memusnahkannya.
Marilah kita menguji segala sesuatu dengan barometer rohani kita: buah roh. Apakah sesungguhnya ada sukacita dan damai sejahtera dalam melakukan kewajiban pajak kita saat ini? Jika ya, teruskanlah. Tetapi kalau yang ada hanyalah kekhawatiran, patutlah kita merenungkannya kembali agar harta yang kita kumpulkan, tak ada ngengat yang akan mampu memusnahkannya.
Tuhan memberkati.
Comments
Post a Comment