Kasih Walaupun ......
“Ah gereja anda kan umatnya kaya-kaya. Saya juga banyak menyumbang tetapi kepada gereja yang miskin, yang sudah mau ambruk ...”, demikian kira-kira ucapan yang dikutip dari seorang umat yang berasal dari luar Jakarta menanggapi tawaran untuk berpartisipasi dalam iklan ucapan selamat atas rencana peresmian gereja Regina Caeli menjadi paroki.
“Saya sangat yakin, dan sangat bagus kalau ada yang mau sumbang, pasti pahalanya sangat besar. (Tapi) Untuk pribadi dan perusahaan, saya tidak bisa turut serta karena sudah ada proporsional untuk gereja tapi bukan di iklan saja.”, bunyi sms dari seorang teman menanggapi tawaran yang sama.
Setidaknya ada dua pesan menarik dari kedua pernyataan di atas untuk direnungkan kita bersama. Pertama, bahwa gereja Regina Caeli senantiasa dipandang sebagai gereja yang mampu, umatnya kaya-kaya, suatu persepsi yang melekat mungkin karena penampakan fisik dan lokasinya yang berada di dalam suatu kompleks perumahan yang tergolong elite.
Refleksi kita sejogjanya bukanlah pada mampu tidaknya umat Regina Caeli atau layak tidaknya untuk mencari partisipasi di luar gereja, tetapi apakah kita semua sesungguhnya memiliki kerinduan untuk memberi bagi suatu karya pelayanan.
Manusia pada hakekatnya memang tidak mudah untuk memberi. Meski Yesus sendiri sudah meyakinkan kita untuk tidak kuatir, manusia masih saja memiliki ketakutan yang mendalam bahwa dengan memberi kita melepaskan sesuatu yang terbatas jumlahnya, dan apa yang kita miliki akan semakin berkurang karenanya. Kita hanya mau memberi jika kita merasa yakin bahwa kebutuhan kita sendiri sudah tercukupi. Sesungguhnya, Tuhan telah menyediakan segala sesuatu yang dapat mencukupi apa yang dirindukan oleh umat manusia untuk menjadi bahagia, yang perlu dilakukan hanyalah niat dan mencari cara untuk berbagi.
Dalam suratnya (2 Kor 8), rasul Paulus memberikan gambaran inspirasional tentang jemaat di Makedonia, dikatakan meski mereka mengalami penderitaan berat, suka cita mereka meluap, meski mereka sangat miskin, namun kaya dalam kemurahan, dan mereka dengan kerelaan sendiri meminta bahkan mendesak untuk ikut melayani orang-orang kudus, memberikan diri mereka pertama-tama kepada Allah dan juga kepada para pelayanNya.
Alkitab, terutama Perjanjian Lama, banyak menampilkan karakter-karakter kaya yang mampu menanggapi berkat materi dari Tuhan dengan iman yang taat dan menjalani hidup dalam kebajikan dan kemurahan hati, seperti Abraham, Ishak, Jakub, Yusuf, Daud, Ayub, Daniel, Yosafat, dan lain-lainnya. Sementara kitab Perjanjian Baru, meski lebih cenderung menekankan pada handicap orang kaya (orang kaya yang bodoh, orang kaya dan Lazarus yang miskin, atau orang kaya sukar masuk Kerajaan Allah), juga mencatat 1 tokoh yang menonjol, yaitu Zakheus, sang kepala pemungut cukai.
Kita tidak perlu menjadi miskin terlebih dahulu untuk dapat secara paradoksal memberi dengan indah. Menjadi kaya bukanlah dosa melainkan anugerah, dan dijuluki kaya bukanlah beban melainkan syukur, sekalipun kita tetap dihadapkan dengan pilihan bebas, apakah mau menjadi orang kaya yang tokoh ataukah “orang kaya yang bodoh”. Hakekat memberi bukanlah karena kaya atau miskin, mampu atau tidak mampu, tetapi semata-mata karena rahmat. Berbahagialah dan diberkatilah orang yang memberi, meski di dalam kekurangannya, karena dengan berbagi ia justru mengalami kelimpahan sejati.
Kedua, bahwa memberi itu bukan tanpa syarat. Kita mau menyumbang asalkan gerejanya miskin. Kita mau menyumbang kalau masih sesuai proporsi atau jatahnya.
Menyumbang ataupun menyerahkan sebagian dari milik kita kepada orang lain, khususnya bagi yang terkecil di antara kita, adalah wujud nyata dari kasih. Kasih, suatu topik kehidupan yang sangat populer, sering didengungkan tetapi jarang terwujudnyatakan.
Tidak seperti bahasa-bahasa lain yang pada umumnya memiliki keterbatasan dalam menuangkan kekayaan arti kata kasih atau cinta, bahasa Yunani mengenal 4 istilah kasih: eros, storge, phileo, dan agape. Tiga yang disebut terakhir juga digunakan dalam Alkitab berbahasa Yunani. Eros, sering diasosiakan dengan kata erotis, adalah ekspresi kasih yang paling dangkal, timbul karena ketertarikan atau kenikmatan fisik dan pikiran saja. “Aku mencintai kamu karena kamu menyenangkanku”. Storge, kasih alami karena hubungan darah atau kekerabatan, timbul semata-mata karena rasa afeksi kekeluargaan. Phileo, kasih karena persahabatan dan persaudaraan. Phileo lebih bermutu daripada eros dan storge, meski tetap mengandalkan keseimbangan dalam interaksi kedua belah pihak. Inilah jawaban kasih Petrus kepada Yesus saat ditanya sampai 3 kali “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”.
Kasih yang terbesar adalah agape. Kasih yang tulus, tidak mengharapkan timbal balik, tidak bersyarat, dan rela mengorbankan diri. Allah sendiri adalah agape. “Theos ein agape” (1 Yoh 4:8). Kasih agape adalah kasih yang ilahi. Kasih ilahi tersebut menjadi nyata dalam diri Kristus Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-7), dan yang sekalipun dikhianati, disangkal, dihina, dianiaya, dan menderita hebat sebelum kematianNya, masih mau berseru “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).
Dalam realitas kehidupan, memang eros, storge, dan phileo lah yang justru lebih dominan. Ketiganya adalah kasih yang asalkan, jika, tetapi, atau karena. Hidup yang dipenuhi oleh kasih yang bersyarat inilah yang senantiasa mengekalkan ketakutan asal kita. Karena ketika kita mengucapkan kata “Aku mengasihimu”, seketika itu juga kita kuatir apakah akan menerima jawaban balasannya. Dan ketika kita sudah menerima jawaban balasannya, kita menjadi kuatir kasih yang baru diperoleh tersebut akan hilang.
Dalam realitas kehidupan, memang eros, storge, dan phileo lah yang justru lebih dominan. Ketiganya adalah kasih yang asalkan, jika, tetapi, atau karena. Hidup yang dipenuhi oleh kasih yang bersyarat inilah yang senantiasa mengekalkan ketakutan asal kita. Karena ketika kita mengucapkan kata “Aku mengasihimu”, seketika itu juga kita kuatir apakah akan menerima jawaban balasannya. Dan ketika kita sudah menerima jawaban balasannya, kita menjadi kuatir kasih yang baru diperoleh tersebut akan hilang.
Manusia pada hakekatnya tidak akan pernah mampu mengasihi agape apabila mengandalkan kekuatan sendiri. Kasih agape hanya dimungkinkan apabila kita mau mengizinkan Tuhan untuk berkuasa sepenuhnya atas diri kita. Kasih agape akan menjadi bagian dalam hidup kita jika kita membuka diri bagi Roh Kudus untuk tinggal dan bekerja di dalam kita.
Biarkan kasih agape mengalir, mulai dari diri kita sendiri, kemudian kepada orang di sekitar kehidupan kita, kepada dunia. Kasih yang walaupun. Dengan kasih agape, niscaya kita akan mampu mengasihi sesama, bahkan orang yang memusuhi kita, sekalipun segala sesuatunya tampak seolah tidak masuk akal, mengecewakan, dan menakutkan. Inilah hakekat dan kasih Tuhan yang menyertai kita selamanya.
Sebagai umat gereja muda yang bertumbuh pesat dalam waktu yang relatif singkat menjadi suatu paroki, sudah selayaknya kita mau terus menerus berefleksi. Menjadi paroki bukanlah tujuan akhir, tetapi justru merupakan tonggak baru menuju tujuan sejatinya yaitu gereja yang melayani dan menggarami. Mari bersama-sama belajar dari jemaat di Makedonia, belajar dari tokoh-tokoh biblis kaya yang diberkati Tuhan, memberi, berbagi dan bertumbuh dalam budaya kasih walaupun, pada masa kelimpahan maupun pada masa kekurangan kita.
Selamat menempuh perziarahan baru, paroki Regina Caeli.
(Tulisan dimuat di Buku Kenangan Peresmian Paroki Pantai Indah Kapuk, Regina Caeli)
(Tulisan dimuat di Buku Kenangan Peresmian Paroki Pantai Indah Kapuk, Regina Caeli)
Comments
Post a Comment