Makanan Surgawi



Gereja mengajarkan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak dari kehidupan Kristiani. Sungguhkah kita sudah memahami pernyataan yang hakiki ini dan, karenanya, mengimani dengan sungguh-sungguh pula? Nyatanya sebagian dari kita masih sering permisif menomor-duakan perayaan Ekaristi, terlebih tatkala ada suatu ketidakleluasaan. Sebut saja misalnya absen dari misa karena ada acara lain, kebiasaan datang telat karena alasan parkir, ataukah kabur sebelum berkat.

Ungkapan tentang Ekaristi dengan pas merangkum secara utuh seluruh aspek kehidupan rohani kita. Ialah “sumber” dari mana rahmat pengudusan Allah mengalir sehingga kehidupan Kristiani dalam arti sesungguhnya bisa berlangsung. Tanpa Ekaristi tampaknya kita itu hidup tapi sebetulnya kita itu mati (Yoh 6:53). Tak ubahnya dengan sosok seorang zombie. Ialah “puncak”, seperti halnya puncak Everest -tempat tertinggi di bumi- idaman setiap pendaki gunung sejati, yang seyogyanya menjadi arah dan tujuan dari seluruh tindakan atau kehidupan seorang Kristiani. Tanpa Ekaristi, kehidupan yang kita tempuh niscaya belum utuh, belum mencapai kepenuhannya.

Sumber dan Puncak. Mulai dari dan kembali ke Ekaristi. Kita menemukan paralelisme ini dalam Alpha dan Omega, Awal dan Akhir, yaitu sang Kristus sendiri. Dan bukankah Gereja mengimani bahwa Kristus memang sungguh hadir sepenuhnya: Tubuh, Darah, Jiwa, dan Keilahian-Nya, lewat transubstansiasi roti dan anggur yang dikonsekrasikan? Ekaristi karena itu adalah momen kairos bagi perjumpaan mesra kita dengan Allah. Saat Allah mencurahkan rahmat pengudusan-Nya bagi dunia dan kita dengan rendah hati mau mempersembahan diri kepada Kristus, dan lewat Kristus kepada Allah di dalam Roh Kudus. Dengan menyambut Tubuh dan Darah Kristus, kita, dipersatukan dalam persekutuan gerejani dengan sesama Umat Allah (1 Kor 10:17),  para kudus maupun pendosa, yang masih di bumi maupun yang di Surga, turut mengambil bagian dalam kemanusiaan sekaligus keilahian-Nya (Yoh 6:56), dalam kebangkitan dan kehidupan-Nya yang kekal (Yoh 6:54). Niscaya inilah juga kerinduan kita yang terdalam. Maka tepatlah pula jika dikatakan bahwa Ekaristi adalah kecapan pendahuluan dari Perjamuan Kekal di Surga.

Mukjizat transubstansiasi? Ah, jangan-jangan ini hanyalah sebuah doktrin hype lain orang Katolik saja. Buktinya mana? Yesus toh tetap tak kasatmata. Well, urusan iman memang sulit untuk dicerna dengan indera. Buat apa ingin mengatur bagaimana Yesus mesti menyatakan diri-Nya? Sebab andaikanpun ya, akankah kita semakin taat dan percaya? Jangan-jangan kita lama-lama akhirnya tetap bosan dan kecewa juga. Maka memang berbahagialah yang tak melihat tapi percaya. Dan bagi yang telah tulus mencari tetapi tetap tak menemukan Dia, cobalah minta dengan rendah hati kepada-Nya agar Dia yang menemukan kita. Asalkan mau membuka hati dan mata iman kita, yakinlah, kitapun pasti akan bisa mengenali dan mengalami gelora cinta-Nya yang membara. Selamat hari raya Tubuh dan Darah Kristus.

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Melihat Wajah Yesus

Sang Pemenang