Rendah dan Murah Hati


Dalam perjamuan pesta, acapkali ada bagian khusus yang disediakan buat VIP atau VVIP, yaitu orang-orang yang dianggap penting karena hubungan kekerabatan atau karena status sosialnya. Mereka mendapat kemudahan dan perlakuan yang lebih istimewa dibandingkan tamu lainnya. Lewat mutualisme tersebut, yang mengundang dan yang dipentingkan sama-sama merasa terhormat.

Senang dihormati dan rasa bangga itu sah-sah saja. Tapi waspadalah, jangan sampai ini cuma kamuflase dari sifat yang jauh lebih destruktif: kesombongan. Sifat sombong berakar dari pembenaran diri. Merasa layak untuk mendapatkan sesuatu dengan usaha sendiri. Santo Agustinus mendefinisikannya sebagai 'cinta akan kehebatan diri'. Katekismus Gereja menyebutkan bahwa kebencian terhadap Allah muncul dari kesombongan (n. 2094). Ingat kisah Lusifer, malaikat yang menganggap dirinya setara dengan Allah, atau saat Iblis pertama kali memancing manusia ke dalam dosa “…kamu akan menjadi seperti Allah…” (Kej 3:5)!

Lewat perumpamaan pesta perkawinan (Luk 14:1; 7-14), Yesus mengingatkan kita untuk tidak gila hormat. Sebaliknya, Ia ingin kita hidup dalam kerendahan hati, menyadari bahwa tanpa rahmat, kita sesungguhnya tidak berdaya apa-apa dalam hal keselamatan. Pun, kerendahan hati itu perlu senantiasa dikerjakan dan dipekai supaya kemurniannya tetap terjaga, tidak tertunggangi oleh kesombongan juga. Dengan kerendahan hati yang sejati, niscaya kita akan lebih mampu bermurah hati, menjadi berkat bagi sesama. Yesus sendiri telah memberikan teladan demikian saat mengawali dan menjelang akhir karya-Nya. Pada pesta perkawinan Kana, tanpa show-off, Ia diam-diam mengabulkan permintaan sang Bunda, merubah air menjadi anggur yang berlimpah, mendatangkan sukacita besar dalam pesta. Dan pada Perjamuan Terakhir, Ia mau ‘turun’ membasuh kaki para murid sebelum memecah dan membagi-bagi roti dan anggur, tubuh dan darah-Nya sendiri, sebagai tanda kasih-Nya yang habis-habisan kepada kita.

Hidup itu tak ubahnya seperti sebuah perjamuan pesta. Tapi tanpa kehadiran Kristus, mustahil kita bisa mengecap betapa sedapnya kemeriahan dan sukacita hakiki di dalamnya. Maka izinkanlah Dia masuk ke dalam hidup kita. Caranya? Seperti yang telah diajarkan-Nya, lewat undangan kepada sesama yang paling hina, yakni orang-orang yang tersisih dan tidak berdaya, dalam wujud kepedulian dan perbuatan kasih yang nyata. Bukankah kita sendiri juga sebetulnya termasuk di antara mereka, yang meski tidak layak di mata-Nya, tetap diundang ke perjamuan-Nya? Bukan karena kita lebih baik, berprestasi, atau terhormat, melainkan karena kemurahan hati-Nya semata. Inilah mutualisme sejati, ketika sang Pencipta yang penuh dengan kasih karunia menerima penghormatan dan permuliaan yang selayaknya dari manusia ciptaan-Nya lewat kerendahan hati dan kasih terhadap sesama.

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Walaupun ......

Melihat Wajah Yesus

Sang Pemenang