“Apa Yang Telah Dipersatukan Allah, Tidak Boleh Diceraikan Manusia”
Kutipan di atas sudah populer. Barangkali karena perceraian itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari pop culture. Infotainmen hampir setiap hari memuat berita tentang perceraian. Di Malaysia, Saudi Arabia, dan India, perceraian di kalangan agama tertentu bahkan sudah bisa dianggap sah lewat SMS.
Gereja Katolik menganut bahwa perkawinan yang sah tanpa halangan antara seorang pria dan wanita yang sudah dibaptis (ratum) dan yang sudah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain oleh kematian (KHK pasal 1141). Hanya perkawinan yang non-ratum dan yang ratum et non consummatum saja yang dapat dibatalkan atau diputuskan sesuai kuasa Gereja yang berwenang. Gereja juga mengizinkan perpisahan dengan tetap dalam ikatan perkawinan dalam kasus perzinahan atau KDRT yang membahayakan nyawa pasangan atau anaknya.
Gereja Katolik menganut bahwa perkawinan yang sah tanpa halangan antara seorang pria dan wanita yang sudah dibaptis (ratum) dan yang sudah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain oleh kematian (KHK pasal 1141). Hanya perkawinan yang non-ratum dan yang ratum et non consummatum saja yang dapat dibatalkan atau diputuskan sesuai kuasa Gereja yang berwenang. Gereja juga mengizinkan perpisahan dengan tetap dalam ikatan perkawinan dalam kasus perzinahan atau KDRT yang membahayakan nyawa pasangan atau anaknya.
Meski mengenal perceraian, Gereja tidaklah permisif. Perceraian harus menjadi alternatif terakhir karena pada dasarnya bertentangan dengan karya penciptaan dan penyelamatan Allah. Perkawinan adalah lambang kasih Allah terhadap umat Israel, Kristus terhadap Gereja-Nya. Dengan meneladani Sang Kekasih yang setia sepanjang masa walau seringkali dikecewakan tersebut, para pasutri seyogyanya juga mau mengutamakan sikap pengorbanan, pengampunan, dan rekonsiliasi.
Selain antara pasutri, ‘perceraian’ juga bisa terjadi dalam konteks kehidupan gerejani. Diawali dengan kehadiran dan pelayanan yang semakin surut, lalu mulai ‘jajan’ ke komunitas atau persekutuan tetangga, dan akhirnya ‘pindah ke lain hati’. Bisa jadi fenomena ini berakar dari sikap yang tidak mampu menghayati makna ekaristi yang jauh lebih sakral ketimbang sekedar mengeluhkan khotbah yang monoton, tidak mampu melihat karya kasih Gereja yang telah berlangsung secara ajaib selama hampir 2 milenium ketimbang menyorot kelemahan atau kesalahan yang manusiawi dari para pelayan-Nya. Dahaga spiritual kita seharusnya merupakan refleksi dari kerinduan akan persekutuan yang lebih mesra dengan Allah bukan karena ketidakpuasan atau kekecewaan.
Seperti diwartakan oleh penulis Ibrani (2:9-11), Yesus yang “untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari malaikat” mau mengambil rupa manusia, rela menderita dalam maut demi keselamatan kita. Semoga dalam mengikuti Yesus kitapun mau terus berjuang menyangkal egoisme diri, memikul salib kesetiaan dan pengampunan, sekalipun dikhianati dan dikecewakan oleh pasangan hidup atau sesama, demi memberikan kesaksian yang kokoh kepada dunia betapa besar kasih Allah kepada kita. Agar kitapun kelak layak ikut dalam kemuliaan dan hormat yang telah dimahkotakan kepada-Nya.
Comments
Post a Comment