Posts

Showing posts from October, 2009

Bartimeus

Image
Dalam injil sinoptik, Bartimeus termasuk sosok yang istimewa. Ia adalah satu-satunya karakter yang mengalami mukjizat penyembuhan dari Yesus yang disebut dengan nama. Secara harafiah namanya berarti: “anak (Bar) kehormatan (Time)”. Sebagai pengemis buta yang berdiam di pinggir jalan dekat kota Yerikho, Bartimeus mungkin cuma pernah mendengar tentang Yesus dari mulut orang lain. Hebatnya, ia bisa percaya dan memanggil-Nya “Anak Daud”, sebutan lain untuk Mesias bagi kaum Israel. “Iman timbul dari pendengaran” ( Rom 10:17a ) demikian menurut St Paulus. Iman yang ditandai pula dengan kerendahan hati sehingga sebelum datang kepada Yesus, Bartimeus mau terlebih dahulu memohon belas kasih. Itulah Kyrie yang juga kita senantiasa serukan sebagai bagian dari proses perjumpaan kita dengan Kristus dalam Ekaristi. Bartimeus mau menanggalkan jubah, boleh jadi satu-satunya yang dimilikinya, untuk datang kepada Yesus. Ia tidak minta yang muluk-muluk kecuali hanya untuk bisa melihat. Dan kare

Paradoks Kasih

Image
Di dalam karya pelayanan Yesus, St Yakobus dan saudaranya, St Yohanes, mendapat tempat yang agak khusus. Mereka adalah murid-murid yang pertama kali dipilih sesudah St Petrus dan St Andreas. Selain St Petrus, hanya mereka berdua lah yang diajak untuk menyaksikan Yesus membangkitkan putri Yarius, mengalami Transfigurasi, dan berdoa di taman Getsemani. Ketika Yesus memberitakan untuk yang ke-3 kalinya penderitaan yang harus dialami-Nya, mereka masih belum mengerti ( Mrk 10:32-45 ). Boleh jadi mereka lebih terpaku pada kuasa dan mukjizat Yesus selama ini, terpesona melihat sinar kemuliaan-Nya saat Transfigurasi. Berita itu justru seolah hanya menjadi pemicu dari gejolak hati mereka untuk segera meminta (Injil Matius: lewat ibu mereka) ‘kedudukan’ di sebelah kanan dan kiri kemuliaan-Nya kelak, karakter reaktif yang lebih kentara sewaktu mereka berhadapan dengan orang Samaria yang menolak Yesus ( Luk 9:51-56 ). “Boanerges” atau anak-anak guruh adalah julukan mereka. Jika para

Seandainya Orang Kaya Itu Adalah Kita

Image
Si kaya dalam Injil hari ini ( Mrk 10:17-31 ) adalah seorang Yahudi yang taat. Menurut ukuran dunia, ia niscaya dianggap baik. Dengan memanggil Yesus ‘Guru yang baik’ ia seakan ingin membenarkan dirinya sebagai orang yang baik juga. Yesus tahu ketaatan si kaya hanya semu belaka. Ia lebih lekat pada hartanya. “Tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya…” demikian dikatakan penulis Ibrani ( 4:13 ). Si kaya tidak memahami bahwa keselamatan bukanlah fungsi dari banyaknya perbuatan. Tidak ada yang mampu memenuhi hukum Taurat dengan sempurna. Maklumlah jika para murid pun frustasi: “Kalau begitu, siapa yang bisa selamat?” Pernyataan Yesus bahwa bagi manusia tidak mungkin, tapi bagi Allah segalanya mungkin, mengisyaratkan bahwa keselamatan menjadi mungkin hanya karena rahmat. Dalam konteks ini pulalah, kita bisa lebih mengerti perkataan Yesus sebelumnya bahwa tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja. “Semua orang telah berbuat dosa…, dan oleh kasih karun

“Apa Yang Telah Dipersatukan Allah, Tidak Boleh Diceraikan Manusia”

Image
Kutipan di atas sudah populer. Barangkali karena perceraian itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari pop culture . Infotainmen hampir setiap hari memuat berita tentang perceraian. Di Malaysia, Saudi Arabia, dan India, perceraian di kalangan agama tertentu bahkan sudah bisa dianggap sah lewat SMS. Gereja Katolik menganut bahwa perkawinan yang sah tanpa halangan antara seorang pria dan wanita yang sudah dibaptis ( ratum ) dan yang sudah disempurnakan dengan persetubuhan ( consummatum ) tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain oleh kematian (KHK pasal 1141). Hanya perkawinan yang non-ratum dan yang ratum et non consummatum saja yang dapat dibatalkan atau diputuskan sesuai kuasa Gereja yang berwenang. Gereja juga mengizinkan perpisahan dengan tetap dalam ikatan perkawinan dalam kasus perzinahan atau KDRT yang membahayakan nyawa pasangan atau anaknya. Meski mengenal perceraian, Gereja tidaklah permisif. Perceraian harus menjadi alternatif